Kamis, 13 Maret 2008

Kisah sukses jayabaya

Ratih SanggarwatiPeragawati"Semua Profesi Butuh Pendidikan"

Bagi saya, pendidikan adalah segala-segalanya, dalam artian, saya tidak menganggap orang yang tidak berpendidikan tinggi tidak baik. Kalau orang mau belajar secara otodidak ya bagus. Tetapi perlu diingat, pendidikan di perguruan tinggi membuat wawasan kita makin bertambah dan menjadi lebih bagus. Jelas ada perbedaan antara orang yang pernah mengenyam perguruan tinggi dengan yang tidak.

Memang ada orang yang mengatakan, ah tidak perlu kuliah, yang penting belajar dan membaca. Itu oke saja. Tapi, bagi orang yang pernah mengenyam bangku kuliah, ada point-point tertentu yang memang lebih menang daripada orang yang tidak mengenyam bangku kuliah. Hal itu, misalnya bisa dilihat dari cara berdebat dalam berdiskusi, dalam cara berpikir, berbicara atau pandangan, pasti ada perbedaannya.

Jadi, buat saya, apapun profesi seseorang, diperlukan pendidikan. Seperti saya yang seorang model. Kalau dilihat secara langsung, memang seorang model tidak perlu menjadi seorang sarjana. Namun, banyak orang yang tidak menyadari, perlu ilmu dalam dalam memikirkan potensi-potensi diri, bagaimana dalam membuka peluang-peluang baru. Seperti saya, setelah tidak menjadi peragawati, saya dapat menjalankan usaha lain, membuat restoran dan sekolah modeling. Semua itu saya dapat karena belajar manajemen, statistik dan segala macam.
Bagi yang tidak dapat masuk ke perguruan tinggi negeri, sekarang ini banyak sekali perguruan tinggi swasta yang menjadi alternatif. Kalau saya pribadi, ada beberapa faktor untuk melihat perguruan tinggi swasta yang akan dimasuki. Pertama, statusnya harus disamakan, Kedua, melihat kemampuan keuangan kita. Berikutnya fasilitas yang disediakan, lingkungan pergaulan mahasiswanya, mutu alaumni perguruan tinggi tersebut, dan sebagainya.

Terus terang, sebenarnya keinginan saya masuk ITB. Karena tidak terima, saya memutuskan saya mendaftar di Universitas Trisakti dan Universitas Jayabaya. Waktu itu saya hanya melihat status disamakan untuk jurusan Manajemen Perusahaan Fakultas Ekonomi, tidak lebih dari itu.
Di Trisakti saya diterima. Tapi setelah melihat lingkungan mahasiswanya, saya merasa tidak mampu sekolah disitu. Kalau saya sekolah disitu pasti saya akan menuntut macam-macam pada orangtua, minta beli mobil ini-itu, untuk menyesuaikan dengan mahasiswa yang lain. Apalagi saya baru datang dari daerah, jadi yah….mudah terpengaruh oleh gaya anak muda anak-anak Jakarta.

Akhirnya, pilihan saya jatuh ke Universitas Jayabaya. Saya pikir, kalau di Jayabaya, saya bisa belajar dengan tenang, tidak terpengaruh kanan-kiri. Keuntungan lainnya, ternyata biaya kuliah di Jayabaya lebih murah dibanding di Trisakti. Di Jayabaya, saya hanya bayar Rp. 500.000, sedangkan di Trisakti Rp. 1.250.000,. Menurut saya, pada waktu itu memang kemampuan keuangan saya hanya Rp. 500 ribu. Mengenai fasilitas, menurut saya, cukup memadai.
Namun, semua keuntungan itu tidak saya pikirkan. Karena waktu itu saya hanya berpikir yang penting lulus dan menjadi seorang sarjana. Ya, kalau ukuran perguruan tinggi swasta, saya termasuk mahasiswa yang lulus tepat waktu. Masuk tahun 1981, selesai 1987. Itu sudah termasuk ujian negara dan skripsi. Kalau teorinya sih 4 tahun sudah kelar.
Pesan saya, dalam memilih perguruan tinggi swasta, masyarakat jangan terpaku karena prestise. Kecendrungan masyarakat kita begitu. Sekarang banyak perguruan tinggi yang mementingkan profit saja. Pretise tidak tepat diterapkan pada pendidikan. Prestise itu kalau sedang bergaya-gayaan saja. Untuk urusan pendidikan, jangan gaya-gayaan lah.....
Juan Felix TampubolonPengacara"Mutu dan Lulusan yang Berhasil"

Saat ditemui di kantornya, di Menara Global, Jakarta, Juan Felix Tampubolon, tampak enjoy meskipun kesibukannya sebagai pengacara Soeharto sangat melelahkan. Ia memulai karirnya sebagai pengacara mulai dari bawah. Ibunya, H.E. A.M Baijens yang keturunan Belanda, diakui sangat berperan membentuknya menjadi sosok pribadi yang mandiri. Kuliahnya di Universitas Jayabaya diselesaikan dengan biaya sendiri. Inilah ceritanya.
Dulu, terus terang, dalam memilih perguruan tinggi tidak terlalu saya pikirkan harus ke universitas mana. Tapi saya punya dua alternatif, negeri atau swasta. Kalau universitas negeri, jelas saya pilih UI. Tapi saya tidak lulus UI karena saya terlambat bangun ketika mengikuti tes. Saya tidak kecewa, karena saya pikir masih ada universitas swasta yang tidak kalah dengan UI. Pilihan saya jatuh pada Jayabaya.

Kenapa Jayabaya, karena saya melihat mutunya bagus. Saya banyak melihat jebolannya banyak yang berhasil. Pilihan saya semakin matang, karena saudara dan teman-teman banyak yang mendukung. Pada jamannya, fakultas hukumnya sangat terkenal. Lulusan hukum dari sana pasti diakui di masyarakat. Sarana dan prasarana disana memang sangat mendukung.
Memang agak subjektif jika saya bilang bahwa saya cinta pada almamater saya. Saya bangga lulus dari sana. Saking bangga dan cintanya, saya mengambil S2 juga di Jayabaya. Apa yang saya capai sekarang ini tentu juga karena saya telah ditempa disana.

Saya akui, apa yang saya dapatkan di perguruan tinggi, ketika diterapkan di masyarakat, jauh sekali bedanya. Tapi dari universitas yang paling bagus sekalipun, teori dengan kenyataan di lapangan sangat jauh berbeda. Kenapa begitu ?. karena fenomena hukum di masyarakat kita dinamis dan beraneka ragam. Karena saya pikir semua universitas perlu membuka diri untuk membuka diri untuk menyalurkan mahasiswa magang ke kantor–kantor pengacara. Saya sendiri telah banyak memberikan kursus secara gratis ke berbagai universitas termasuk ke almamater saya.

Sebenarnya saya dulu, saya tidak bercita – cita menjadi pengacara. Saya malah ingin kuliah di teknik sipil. Tapi cita – cita itu berubah ketika saya melihat orangtua saya punya kasus perdata tak kunjung selesai selama 2 tahun. Saya pikir kalau saya tidak membantu, apa jadinya? Maka begitu selesai dari Jayabaya, kasus perdata orang tua 100 persen saya yang menyelesaikan. Itulah kebanggaan terbesar bagi saya. Maka keputusan saya masuk ke Hukum benar–benar sesuai dengan harapan saya.

Dalam menerapkan ilmu saya tidak banyak mengalami sulit karena sebelum tamat saya sudah magang di Kantor Advokat Maruli Simorangkir dan Harijdono Tjitrosubono. Saya lalu membuka kantor pengacara dengan tiga rekan saya, satu dari Jayabaya, Undio dan UI. Kami berempat bisa saling mengisi. Sekarang, 3 rekan saya itu juga menjadi pengacara terkenal.
Mahasiswa sekarang perlu membekali diri dengan banyak pengetahuan dan ketrampilan. Ilmu yang punya harapan maju kedepan menurut saya adalah bisnis. Negara bisa rontok karena tidak jago berbisnis. Tapi bagaimana kita jago bisnis, kalau kemampuan bahasa Inggris kita rendah, maka saya kira, penguasaan bahasa Inggris perlu. Memilih universitas juga harus hati–hati, perhatikan standarnya, perhatikan jurusan, sarana dan prasarananya. Setidaknya, standar diakui pemerintah.

Ikke NurjanahPenyanyi Dangdut"Rekomendasi Kakak Kelas"
Selepas dari SMAN 40 Jakarta, Ike Nurjanah, penyanyi kondang yang kini telah menjadi telah menjadi dari seorang puteri, mencoba mengikuti UMPTN seperti lulusan SMA pada umumnya. Tapi ia sama sekali tidak menyesal karena gagal lolos kesalah satu PTN pilihannya. Ia lantas mencari tahu universitas mana yang mungkin ia pilih, kepada seniornya yang ketika itu menjadi mahasiswa. Saya disarankan mendaftar ke Universitas Jayabaya, karena kata mereka bagus. Fasilitasnya cukup lengkap dan tidak mahal-mahal amat. Menurut Ike, memang banyak kakak kelasnya di SMA yang memilih kuliah di Jayabaya. “ Bukannya ingin ikut-ikutan lho ….tapi buat saya faktor rekomendasi itu penting. Bagaimana kita bisa tahu seluk beluk sebuah universitas kalau bukan informasi dari teman-teman ?” kata Ike.

Karena kesibukannya sebagai penyanyi, Ike tidak memutuskan mengambil S1. Baginya akan lebih efisien bila mengambil program D3 dulu. Setelah mampu membagi waktu, barulah diteruskan ke program sarjana. Maka, ia memutuskan kuliah di Akademi Manajemen Perusahaan Jayabaya. Tapi, selepas D3 ia urung “istrirahat” seperti rencananya semula. “ kayaknya kok sayang ya kalau di stop, biar pun cuma sementara,” ujar wanita kelahiran 18 mei 1974 ini.

Ike menyelesaikan sarjana ekonomi manajemennya tahun 1998. Ia mengaku sangat menikmati masa-masa kuliahnya. Meski sibuk sebagai penyanyi, ia tetap meluangkan waktu untuk kegiatan kampus, ia bahkan sempat menjadi seketaris dan bendahara Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya 1995-1998.

Ike juga rajin berpartisipasi bila kampusnya mengadakan kegiatan seni. Dan karena kegiatan kampus pulalah, Ike akhirnya bertemu dengan pujaan hati yang kini telah menjadi suaminya. “Ketika itu, kampus saya ada pesta seni yang mengundang beberapa penyanyi. Salah satunya, ya kelompok Bragi. Disitu pertama kalinya saya berkenalan dengan Aldi’” ungkapnya.

M.S. Ka'banMenteri Kehutanan Periode 2004-2009"Aktivis dan Intelektual"
Pria berkumis tipis, ketika ditemui di kantornya (ketika masih menjadi anggota DPR RI) ternyata cukup ramah dan sangat antusias menceritakan berbagai kisah-kisahnya sewaktu kuliah pada akhir 70-an di Universitas Jayabaya walau ditengah kesibukan sebagai anggota MPR/DPR – RI merangkap anggota Komisi IX DPR-RI bidang ekonomi. Selepas SLTA, pilihannya hanya dua yaitu melanjutkan kuliah di IPB atau Universitas Jayabaya.
Pertimbangannya waktu itu karena Perguruan Tinggi Swasta yang status yang akreditasinya disamakan dengan negeri dan ujiannya mandiri masih sangat langka. Selain itu, satu-satunya PTS yang ada dosen bergelar professor dan banyak dosen bergelar Doktor muda hanya ada di Universitas Jayabaya serta ditinjau dari segi waktu pendiriannya Universitas Jayabaya relatif sudah lama dibanding PTS lain membuatnya semakin yakin untuk kuliah di Universitas Jayabaya.

Pria kelahiran Binjai, Riau, 5 Agustus 1958, yang kini menjadi Ketua Umuml Partai Bulan Bintang, juga Mentri Kehutanan juga menceritakan bagaimana waktu itu ia menikmati kuliah walau ia diajar oleh dosen-dosen killer, tapi manfaat waktu itu sampai kini pun tak dapat terlupakan.

Kegiatan lainnya selain kegiatan akademik, tambahnya sambil mengingat masa lalu sejenak, adalah kegiatan kemahasiswaan yang waktu itu sangat mendukung mahasiwa untuk berfikir, berkreatifitas dan berkarya, “Sehingga wajar saja, untuk setiap event kemahasiswaan saya pasti ikut serta, baik di Senat Mahasiswa, di Resimen Mahasiswa dan Unit Kerohanian Masjid”, katanya.

Alumnus yang pernah juga menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta di era 80-an dan pernah menjadi kandidat Ketua Umum PB. HMI ini, merasa sangat bersyukur dididik dan diajar di Universitas Jayabaya sehingga wajar katanya, “ Kemanapun saya berada saya selalu merasa optimis dengan bekal yang saya bawa”.
Pesannya adalah untuk generasi muda yang akan menimba ilmu di perguruan tinggi hendaknya dalam memilih perguruan tinggi tidak hanya melihat gedung yang menjulang dan fasilitas kegiatan akademik saja karena ternyata faktor aktivitas kemahasiswaan juga penting sebagai wadah untuk bereksistensi dan berkreatifitas.

Elvyn G. MassasyaDireksi Bank Permata & Ekonom"Pentingnya Melek Finansial bagi Individu dan Keluarga"
Elvyn G. Massasya, kelahiran Medan, 18 Juni 1967. Kesehariannya adalah praktisi di sebuah bank. Ia juga berprofesi sebagai kolumnis yang tulisannya tersebar di hampir seluruh media massa nasional. Selain itu, ia juga seorang pengamat keuangan & perbankan sekaligus menjadi pembicara di berbagai workshop dan seminar, serta kerap mengisi acara talk show radio maupun televisi. Setelah menyelesaikan sarjana ekonomi dari Universitas Jayabaya, pada tahun 1990, ia melanjutkan pendidikan khusus bidang perbankan (Profesional Development Program) di Instutut Bankir Indonesia. Ia menyelesaikan Magister Manajemen di Institut Teknologi Bandung untuk bidang keuangan dan perbankan. Sebelumnya, ia mengikuti program MBA di Collegio de San Juan de Letran, Filipina. Selain sebagai praktisi perbankan, ia juga pengajar di School of Corporate Leadership (SCL), Associate Consultan di Magma Consultan, Associate Director di Pusat Kajian Komunikasi Bisnis dan Politik, Chairman Financial Intellegence Institute dan Dewan Pengurus Center for Corporate Leadership. Kini, ia sedang menyiapkan beberapa buku mengenai keuangan dan perbankan. Juga, tengah menyiapkan disertai untuk program doktor (S3).(dikutip dari buku "Cara Cerdas Memutar Uang", terbitan Elex Media Komputindo)

Elza SyariefPengacara"Takkan Berhenti Menolong Orang"
Reformasi yang diwarnai euforia demokrasi, penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), telah mendongkrak popularitas banyak pengacara. Salah satu di antaranya Elza Syarief, SH. Namanya berkibar sejak dipercaya menangani kasus putera bungsu mantan Presiden Soeharto. Namun, dia pun tersandung, diduga menyuap saksi dalam kasus itu.

Wajah Elza Syarief sudah akrab dengan pemirsa televisi dan pembaca media cetak. Sebab wajah itu sudah amat sering disorot kamera televisi lokal dan internasional maupun kamera para fotografer media cetak. Penampilannya tenang dan simpatik. Cara bicaranya pun teratur, sopan dan tidak meledak-ledak. Padahal waktu kecil, dia telat bicara. Pada umur 3 (tiga) tahun baru dia bisa ngomong. Sampai masa remaja, dia juga masih banyak diam. Kata dokter, cara berpikirnya lebih cepat daripada berbicara, sehingga banyak kalimat yang hilang. Namun, dia dapat mengatasi dengan banyak belajar. Kini, popularitasnya merekah, mirip selebritis yang naik daun, terutma sejak menangani kasus Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto. Kehadirannya selalu menghiasi layar kaca dan media cetak setiap kali kasus itu mencuat di publik.

Wanita kelahiran Jakarta 24 Juli 1957 ini begitu sering tampil di media masa dan diburu wartawan. Maklum, dialah pengacara Tommy Soeharto, anak mantan Presiden Soeharto, yang setahun buron, kemudian diadili dalam kasus pembunuhan seorang hakim agung."Kalau Mas Tommy enggak buron, masalahnya iuga enggak akan heboh," kata pengacara yang sudah pernah menangani aneka kasus, kecuali kasus politik ini. Jadi pengacara Tommy, katanya, "Bukan karena mau jadi sorotan. Saya cuma ingin memberi solusi hukum yang tepat."

Kuliah Setelah Punya 5 Anak
Elza memang soerang tipe manusia yang dapat menerima apa adanya. Dia seorang penurut yang amat menghormati orang tua dan suaminya. "Pernikahan saya pun karena dijodohkan. Sebagai anak yang penurut, saya mau saja," katanya terbuka, mengenang pernikahannya dengan H. Yuswaji SIP, MBA, seorang perwira AL yang pangkat dan jabatan terakhirnya Laksamana Muda TNI dan Asintel Kasum ABRI.

Setelah menikah dan punya 5 anak, atas izin suami, Elza kuliah lagi di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. Tahun 1987 lulus dengan nilai terbaik. Teman-temannya menyarankan agar dia kursus advokat juga. Namun saat itu belum tergerak untuk menjadi pengacara.Satu saat, kebetulan ada teman wanita minta tolong dibuatkan berkas. Dasar dia memang cekatan dalam hal itu. Sekali baca kasusnya, dia sudah bisa membuat berkasnya. Kemudian, kadang dia juga menggantikan teman saat sidang. Sampai akhirnya dia benar-benar memegang kasus. Klien pertamanya seorang satpam sebuah perusahaan telepon yang di PHK tanpa pesangon. Dia berhasil memenangkan perkara itu.

"Wah, bahagia sekali. Akhirnya saya total memilih membantu orang. Di situ keberhasilan saya membela mereka dengan rasa bahagia. Ternyata kalau kita hendak beramal itu bukan semata-mata pakai uang saja. Memberi bantuan hukum juga bisa menyenangkan orang lain yang dihimpit kesulitan. Sehingga saya lihat dari sisi kemanusian bermanfaat."Sejak itu, ia memutuskan untuk tetap memilih jalur jadi pengacara. Awalnya ia sekadar ikut-ikutan dengan kantor pengacara lainnya. Pertama di Ikatan Warga Satya, yaitu kumpulan mantan CPM maupun POM AD. Kemudian ngumpul lagi di Kantor Pengacara Palmer Situmorang SH, lalu di Kantor Pengacara OC Kaligis SH.Lalu dia pun memuutuskan ikut ujian pengacara tahun1989, Advokat 1992, corporate lawyer 1998, dan pasar modal 1999. Dia mengaku banyak belajar ketika bekerja di kantor O.C.Kaligis. "Saya banyak belajar dari dia," katanya merendah. Di situ dia pernah menjadi Direktur Pidana tahun 1988-1991. Sampai akhirnya memutuskan membuka kantor advokat dan konsultan hukum sendiri di daerah Salemba.

Sejak buka kantor tahun 1991, sudah begitu banyak jenis perkara yang ditangani. Kecuali perkara politik. Karena dia enggan menanganinya. Kasus pertama yang dia pegang adalah masalah perburuhan. Makanya sampai sekarang dia tetap meberi porsi pada kaum buruh. Bahkan, dia menjabat sebagai Direktur Advokasi Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Metal Indonesia.

"Hidup itu kan harus balanced, misalnya mengambil suatu dana untuk disalurkan kepada yang berhak. Seperti khususnya pekerja yang menjadi korban PHK massal, perlu saya bantu secara cuma-cuma," ulasnya lagi.

Menurut dia, jadi pengacara itu tidak gampang. Ia mencontohkan, yang ia rasakan berat adalah permintaan atau target yang terlalu tinggi dari seorang klien untuk memenangkan kasusnya. Karena betapapun sulitnya suatu perkara, kalau target yang dibebankan tidak terlalu tinggi, hal tersebut bisa dikerjakan dengan sungguh-sungguh namun dengan suasana santai.Wanita berkacamata yang tinggal di Jl Kramat Sentiong 38A Jakarta Pusat ini juga mengaku tidak menargetkan masalah uang sebagai segalanya. "Karena saya punya kewajiban moral untuk membantu orang-orang yang memang tidak punya," ujarnya.Sejak kecil, Elza memang sudah menaruh empaty pada kaum papa. Ketika sekolah dulu, ibunya tak pernah memberi uang jajan tapi selalu dibekali makanan kecil. Satu hari, waktu mencoba pulang sendiri karena tidak dijemput, dia melihat ada orang minta-minta. Dia iba sekali karena terbiasa melihat yang bagus- bagus. Elza kecil juga heran, kok, pengemis itu jelek sekali. Akhirnya, bekal makanannya diberikan pada pengemis itu.Tapi karena makanan yang dia berikan itu kurang, dia pun menyuruh para pengemis itu datang ke rumah mengambil makanan. Maka saat keluarga Elza mau pindah ke Ambon, ibunya heran sekaligus bingung, karena begitu banyak pengemis datang ke rumah. Ternyata mereka sedih akan kepergian Elza.

(Dikutip dari www.tokohindonesia.com)

Tidak ada komentar: