Kamis, 13 Maret 2008

Kisah Toko Gunung Agung

Akrobat Bisnis Seorang Anak JalananKeberadaan Toko Gunung Agung hingga di usianya yang ke-50 saat ini tidak lepas dari akrobat bisnis yang dilakukan seorang bekas anak jalanan, Tjio Wie Tay alias Haji Masagung. Sejarah keberadaan Toko Gunung Agung yang 8 September lalu genap berusia 50 tahun, tidak lepas dari akrobat-akrobat bisnis yang dilakukan tokoh kuncinya, Tjio Wie Tay alias Haji Masagung.

Terlahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Tjio Koan An dan Tjoa Poppi Nio, Wie Tay sebenarnya bisa menikmati masa kecil yang indah. Ayahnya seorang ahli listrik tamatan Belanda, sedangkan kakek seorang pedagang ternama di kawasan Pasar Baru, Bogor. Tapi kebahagiaan itu tidak dikecapi terlalu lama, karena kala dia berusia empat tahun, sang ayah meninggal dunia.

Sejak saat itu kehidupan ekonomi mereka menjadi sangat sulit. Dalam buku Bapak Saya Pejuang Buku yang ditulis putranya, Ketut Masagung dan disusun kembali oleh Rita Sri Hastuti dikisahkan bahwa Wie Tay tumbuh sebagai anak nakal yang suka berkelahi. Ia juga punya kebiasaan "suka mencuri" buku-buku pelajaran kakak-kakaknya untuk dijual di pasar Senen guna mendapatkan uang saku. Karena kenakalan ini, ia tidak bisa menyelesaikan sekolah, meski sudah dikirim sampai ke Bogor dan sempat masuk di dua sekolah berbeda. Justru karena kenakalannya, Wie Tay tumbuh sebagai anak pemberani. Ia tidak takut berkenalan dengan siapa saja, termasuk dengan tentara Jepang yang kala itu mulai masuk ke Banten. Bahkan dari tentara Jepang, ia mendapatkan satu sepeda.

Modal "berani" ini yang kemudian dia bawa masuk ke dalam dunia bisnis, dan tidak bisa dipungkiri, menjadi salah satu senjata andalannya dalam menggerakkan roda bisnisnya. Setelah diusir pamannya dari Bogor dan harus kembali ke Jakarta saat berusia 13 tahun, Wie Tay menemukan kenyataan bahwa keadaan ekonomi ibundanya belum membaik jua. Tak ada jalan lain baginya kecuali harus mencari duit sendiri.

Awalnya, ia kembali ke "kebiasaan" lama mencuri buku pelajaran kakaknya untuk dijual guna mendapatkan 50 sen. Setelah stok buku pelajaran habis, ia mencoba menjadi "manusia karet di panggung pertunjukkan" senam dan aerobatik. Tapi penghasilannya ternyata tidak seberapa banyak. Pedagang AsonganIa kemudian banting setir menjadi pedagang rokok keliling. Di sinilah sifat beraninya mulai terlihat. Wie Tay yang digambarkan sebagai anak yang banyak kudis di kepala dan borok di kaki ini nekat menemui Lie Tay San, seorang saudagar rokok besar kala itu.

Dengan modal 50 sen, ia memulai usaha menjual rokok keliling di daerah Senen dan Glodok. Di sini ia mulai rajin menabung, karena sudah merasakan betapa susah mencari uang. Hasil tabungannya kemudian dibelikan sebuah meja sebagai tempat berjualan di daerah Glodok. Karena belum memiliki kios sendiri, meja tersebut dititipkan pada sebuah toko onderdil di Glodok, sampai akhirnya ia mampu membuka kios di Senen. Menjadi pedagang rokok keliling membuka mata Wie Tay remaja bahwa ada tempat partai rokok besar selain Lie Tay San, yaitu di Pasar Pagi. Maka, setelah membuka kios dia mulai membeli rokok di Pasar Pagi. Selanjutnya, Wie Tay juga berkenalan dengan The Kie Hoat, yang bekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laris kala itu. The Kie Hoat kemudian akrab dengan Wie Tay dan Lie Tay San.

Suatu hari, The Kie Hoat ditawari relasinya untuk mencarikan pemasaran. Kie Hoat lalu merundingkan dengan kedua sahabatnya tadi. Saat Lie Tay San masih ragu, Wie Tay yang masih sangat belia dalam bisnis itu malah langsung setuju. Ia yakin bisa cepat dijual dan mendatangkan keuntungan besar. Ternyata benar! Sayang buntutnya tidak enak. The Kie Hoat akhirnya dipecat dari Perola karena dinilai melanggar aturan perusahaan, menjual rokok ke pihak luar yang bukan distributor.

Ketiga sahabat ini kemudian bergabung dan mendirikan usaha bersama bernama Tay San Kongsie, tahun 1945. Di sinilah awal pergulatan serius Wie Tay dalam dunia bisnis. Mereka memang masih menjual rokok, tapi melebar ke agen bir cap Burung Kenari. Pada saat bersamaan mereka juga mulai serius berbisnis buku. Atas bantuan seorang kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar. Buku-buku ternyata laku keras.

Mereka berjualan di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Setelah itu mereka membuka toko 3x3 meter persegi, kemudian diperluas menjadi 6x9 meter persegi. Lantaran keuntungan dari penjualan buku sangat besar, mereka lalu memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi hanya menjual buku dan alat tulis menulis. Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk firma, menjadi Firma Tay San Kongsie. Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (6/15%), The Kie Hoat (4/15%) dan Wie Tay (5/15%). Masagung ditunjuk memimpin perusahaan ini.

Mereka kemudian membuka toko di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku bekas mereka untuk dijual dengan harga murah. Membangun Toko Gunung Agung Pada 13 Mei 1951, Wie Tay menikahi Hian Nio. Setelah menikah, Wie Tay berpikir untuk mengembangkan usaha menjadi besar. Dia mengusulkan kepada kedua rekannya untuk menambah modal. Lie Tay San keberatan. Dia memutuskan mundur dan tetap dengan toko bukunya di lapangan Kramat Bunder, (kini Toko Buku Kramat Bundar). Sementara Masagung alias Tjio Wie Tay bersama The Kie Hoat membangun toko sendiri di Jln Kwitang No 13, sekarang menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo. Saat itu, Kwitang masih sepi. Jangankan kios buku, toko lainnya pun belum ada. Baru ketika Wie Tay membuka toko di sana, keramaian mulai tercipta. Sejumlah gerobak buku mulai kelihatan. Sejak saat itu Kwitang menjadi ramai. Cukup lama Tjio Wie Tay mencari nama untuk toko barunya. Kemudian baru muncul ide untuk menerjemahkan namanya sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Tjio Wie Tay dalam bahasa Indonesia berarti Gunung Besar atau Gunung Gede tapi Wie Tay mengubahnya menjadi Gunung Agung.

Toko buku mereka berkembang pesat. Pesanan dari luar Jakarta berdatangan, tidak hanya buku tapi juga kertas stensil, kertas tik dan tinta. Melihat perkembangan ini, tercetuslah ide untuk membina usaha dengan kalangan yang dekat dengan buku, antara lain kalangan wartawan dan pengarang. Sejumlah wartawan senior kala itu ikut bergabung, termasuk sejumlah saudagar tingkat atas. Tidak heran kalau buku-buku yang diterbitkan pada awal berdirinya adalah buku-buku sastra tulisan tangan para "orang dalam" tersebut. Bentuk usaha firma lalu diubah menjadi NV.

Saat peresmian NV Gunung Agung, Wie Tay membuat gebrakan dengan menggelar pameran buku pada 8 September 1953. Dengan modal Rp 500 ribu, mereka berhasil memamerkan sekitar 10 ribu buku. Tanggal ini yang kemudian dianggap sebagai hari lahirnya Toko Gunung Agung –yang juga menjadi hari kelahiran Wie Tay sendiri. Menggelar pameran buku, seolah menjadi "trade mark" bentuk promosi yang dilakukan Gunung Agung.

Tahun 1954, Wie Tay mengadakan lagi pameran buku tingkat nasional bertajuk Pekan Buku Indonesia 1954. Pada acara inilah Wie Tay bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh nasional yang sangat dikaguminya, yakni Bung Karno dan Bung Hatta. Bagi dia, pertemuan dengan Bung Karno adalah hal yang menakjubkan. Selain sebagai presiden, Bung Karno adalah tokoh yang sangat dikaguminya sejak dia masih kecil. Peran Bung KarnoS ukses menyelenggarakan Pekan Buku Nasional dan kedekatannya dengan Bung Karno, membuat Gunung Agung dipercaya membantu pemerintah menyelenggarakan Pameran Buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa Indonesia pada tahun yang sama. Dari sana dilanjutkan dengan pembukaan Cabang Gunung Agung di Yogyakarta, 1955.

Tahun 1956, kembali Gunung Agung diminta pemerintah menyelenggarakan pameran buku di Malaka dan Singapura. Tahun 1963, Toko Gunung Agung sudah memiliki sebuah gedung megah berlantai tiga di Jln Kwitang 6. Acara ulang tahun ke-10 tersebut yang diikuti dengan peresmian gedung tersebut dihadiri langsung Bung Karno.

Pada tahun itu juga, tepatnya 26 Agustus 1963, Wie Tay berganti nama menjadi Masagung. Kalau padanya ditanyakan tokoh siapa yang paling berpengaruh dalam bisnis penerbitan dan toko buku, maka Masagung pasti akan menyebut nama Bung Karno. Ia pun selalu teringat akan pesan Bung Karno padanya. "Masagung, saya ingin saudara meneruskan kegiatan penerbitan. Ini sangat bermanfaat untuk mencerdaskan bangsa, jadi jangan ditinggalkan," ujar Bung Karno. Seraya memeluk Masagung, Bung Karno menyerahkan kepercayaan kepada Masagung untuk menerbitkan dan memasarkan buku-bukunya semacam Di Bawah Bendera Revolusi (dua jilid), Biografi Bung Karno tulisan wartawan AS, Cindy Adams, buku koleksi lukisan Bung Karno (lima jilid), serta sejumlah buku tentang Bung Karno lainnya. Penerbitan buku-buku Bung Karno inilah yang membawa Gunung Agung menanjak.

Bantuan Bung Karno tidak berhenti di situ. Bung Karno juga meminta Gunung Agung mengisi kebutuhan buku bagi masyarakat Irian Barat saat Trikora. Masagung lalu kemudian mengadakan pesta buku di Biak, Marauke, Serui, Fak Fak, Sorong, dan Manokwari. Tugas yang sama kembali diemban untuk masyarakat Riau dalam rangka Dwikora. Bukan cuma di Indonesia. Masagung juga agresif membangun jaringan di luar negeri.

Tahun 1965, dia membuka cabang Gunung Agung di Tokyo, Jepang. Lalu mengadakan pameran buku Indonesia di Malaysia awal 1970-an. Ternyata, kepak sayap bisnis Masagung tidak sebatas toko buku dan penerbitan. Ia juga merambah bisnis lain . Ia tercatat mengelola bisnis ritel bekerjasama dengan Departement Store Sarinah di Jln MH Thamrin, lalu masuk ke Duty Free Shop, money changer, dan perhotelan . Itulah akrobat bisnis yang dilakukan seorang "mantan" anak jalanan. Si anak nakal yang tidak tamat SD itu ternyata mampu mem-bangun kerajaan bisnis yang kokoh hingga kini .

JOSEPH LAGADONI HERINdari wartabisnisdotcom

Kisah sukses jayabaya

Ratih SanggarwatiPeragawati"Semua Profesi Butuh Pendidikan"

Bagi saya, pendidikan adalah segala-segalanya, dalam artian, saya tidak menganggap orang yang tidak berpendidikan tinggi tidak baik. Kalau orang mau belajar secara otodidak ya bagus. Tetapi perlu diingat, pendidikan di perguruan tinggi membuat wawasan kita makin bertambah dan menjadi lebih bagus. Jelas ada perbedaan antara orang yang pernah mengenyam perguruan tinggi dengan yang tidak.

Memang ada orang yang mengatakan, ah tidak perlu kuliah, yang penting belajar dan membaca. Itu oke saja. Tapi, bagi orang yang pernah mengenyam bangku kuliah, ada point-point tertentu yang memang lebih menang daripada orang yang tidak mengenyam bangku kuliah. Hal itu, misalnya bisa dilihat dari cara berdebat dalam berdiskusi, dalam cara berpikir, berbicara atau pandangan, pasti ada perbedaannya.

Jadi, buat saya, apapun profesi seseorang, diperlukan pendidikan. Seperti saya yang seorang model. Kalau dilihat secara langsung, memang seorang model tidak perlu menjadi seorang sarjana. Namun, banyak orang yang tidak menyadari, perlu ilmu dalam dalam memikirkan potensi-potensi diri, bagaimana dalam membuka peluang-peluang baru. Seperti saya, setelah tidak menjadi peragawati, saya dapat menjalankan usaha lain, membuat restoran dan sekolah modeling. Semua itu saya dapat karena belajar manajemen, statistik dan segala macam.
Bagi yang tidak dapat masuk ke perguruan tinggi negeri, sekarang ini banyak sekali perguruan tinggi swasta yang menjadi alternatif. Kalau saya pribadi, ada beberapa faktor untuk melihat perguruan tinggi swasta yang akan dimasuki. Pertama, statusnya harus disamakan, Kedua, melihat kemampuan keuangan kita. Berikutnya fasilitas yang disediakan, lingkungan pergaulan mahasiswanya, mutu alaumni perguruan tinggi tersebut, dan sebagainya.

Terus terang, sebenarnya keinginan saya masuk ITB. Karena tidak terima, saya memutuskan saya mendaftar di Universitas Trisakti dan Universitas Jayabaya. Waktu itu saya hanya melihat status disamakan untuk jurusan Manajemen Perusahaan Fakultas Ekonomi, tidak lebih dari itu.
Di Trisakti saya diterima. Tapi setelah melihat lingkungan mahasiswanya, saya merasa tidak mampu sekolah disitu. Kalau saya sekolah disitu pasti saya akan menuntut macam-macam pada orangtua, minta beli mobil ini-itu, untuk menyesuaikan dengan mahasiswa yang lain. Apalagi saya baru datang dari daerah, jadi yah….mudah terpengaruh oleh gaya anak muda anak-anak Jakarta.

Akhirnya, pilihan saya jatuh ke Universitas Jayabaya. Saya pikir, kalau di Jayabaya, saya bisa belajar dengan tenang, tidak terpengaruh kanan-kiri. Keuntungan lainnya, ternyata biaya kuliah di Jayabaya lebih murah dibanding di Trisakti. Di Jayabaya, saya hanya bayar Rp. 500.000, sedangkan di Trisakti Rp. 1.250.000,. Menurut saya, pada waktu itu memang kemampuan keuangan saya hanya Rp. 500 ribu. Mengenai fasilitas, menurut saya, cukup memadai.
Namun, semua keuntungan itu tidak saya pikirkan. Karena waktu itu saya hanya berpikir yang penting lulus dan menjadi seorang sarjana. Ya, kalau ukuran perguruan tinggi swasta, saya termasuk mahasiswa yang lulus tepat waktu. Masuk tahun 1981, selesai 1987. Itu sudah termasuk ujian negara dan skripsi. Kalau teorinya sih 4 tahun sudah kelar.
Pesan saya, dalam memilih perguruan tinggi swasta, masyarakat jangan terpaku karena prestise. Kecendrungan masyarakat kita begitu. Sekarang banyak perguruan tinggi yang mementingkan profit saja. Pretise tidak tepat diterapkan pada pendidikan. Prestise itu kalau sedang bergaya-gayaan saja. Untuk urusan pendidikan, jangan gaya-gayaan lah.....
Juan Felix TampubolonPengacara"Mutu dan Lulusan yang Berhasil"

Saat ditemui di kantornya, di Menara Global, Jakarta, Juan Felix Tampubolon, tampak enjoy meskipun kesibukannya sebagai pengacara Soeharto sangat melelahkan. Ia memulai karirnya sebagai pengacara mulai dari bawah. Ibunya, H.E. A.M Baijens yang keturunan Belanda, diakui sangat berperan membentuknya menjadi sosok pribadi yang mandiri. Kuliahnya di Universitas Jayabaya diselesaikan dengan biaya sendiri. Inilah ceritanya.
Dulu, terus terang, dalam memilih perguruan tinggi tidak terlalu saya pikirkan harus ke universitas mana. Tapi saya punya dua alternatif, negeri atau swasta. Kalau universitas negeri, jelas saya pilih UI. Tapi saya tidak lulus UI karena saya terlambat bangun ketika mengikuti tes. Saya tidak kecewa, karena saya pikir masih ada universitas swasta yang tidak kalah dengan UI. Pilihan saya jatuh pada Jayabaya.

Kenapa Jayabaya, karena saya melihat mutunya bagus. Saya banyak melihat jebolannya banyak yang berhasil. Pilihan saya semakin matang, karena saudara dan teman-teman banyak yang mendukung. Pada jamannya, fakultas hukumnya sangat terkenal. Lulusan hukum dari sana pasti diakui di masyarakat. Sarana dan prasarana disana memang sangat mendukung.
Memang agak subjektif jika saya bilang bahwa saya cinta pada almamater saya. Saya bangga lulus dari sana. Saking bangga dan cintanya, saya mengambil S2 juga di Jayabaya. Apa yang saya capai sekarang ini tentu juga karena saya telah ditempa disana.

Saya akui, apa yang saya dapatkan di perguruan tinggi, ketika diterapkan di masyarakat, jauh sekali bedanya. Tapi dari universitas yang paling bagus sekalipun, teori dengan kenyataan di lapangan sangat jauh berbeda. Kenapa begitu ?. karena fenomena hukum di masyarakat kita dinamis dan beraneka ragam. Karena saya pikir semua universitas perlu membuka diri untuk membuka diri untuk menyalurkan mahasiswa magang ke kantor–kantor pengacara. Saya sendiri telah banyak memberikan kursus secara gratis ke berbagai universitas termasuk ke almamater saya.

Sebenarnya saya dulu, saya tidak bercita – cita menjadi pengacara. Saya malah ingin kuliah di teknik sipil. Tapi cita – cita itu berubah ketika saya melihat orangtua saya punya kasus perdata tak kunjung selesai selama 2 tahun. Saya pikir kalau saya tidak membantu, apa jadinya? Maka begitu selesai dari Jayabaya, kasus perdata orang tua 100 persen saya yang menyelesaikan. Itulah kebanggaan terbesar bagi saya. Maka keputusan saya masuk ke Hukum benar–benar sesuai dengan harapan saya.

Dalam menerapkan ilmu saya tidak banyak mengalami sulit karena sebelum tamat saya sudah magang di Kantor Advokat Maruli Simorangkir dan Harijdono Tjitrosubono. Saya lalu membuka kantor pengacara dengan tiga rekan saya, satu dari Jayabaya, Undio dan UI. Kami berempat bisa saling mengisi. Sekarang, 3 rekan saya itu juga menjadi pengacara terkenal.
Mahasiswa sekarang perlu membekali diri dengan banyak pengetahuan dan ketrampilan. Ilmu yang punya harapan maju kedepan menurut saya adalah bisnis. Negara bisa rontok karena tidak jago berbisnis. Tapi bagaimana kita jago bisnis, kalau kemampuan bahasa Inggris kita rendah, maka saya kira, penguasaan bahasa Inggris perlu. Memilih universitas juga harus hati–hati, perhatikan standarnya, perhatikan jurusan, sarana dan prasarananya. Setidaknya, standar diakui pemerintah.

Ikke NurjanahPenyanyi Dangdut"Rekomendasi Kakak Kelas"
Selepas dari SMAN 40 Jakarta, Ike Nurjanah, penyanyi kondang yang kini telah menjadi telah menjadi dari seorang puteri, mencoba mengikuti UMPTN seperti lulusan SMA pada umumnya. Tapi ia sama sekali tidak menyesal karena gagal lolos kesalah satu PTN pilihannya. Ia lantas mencari tahu universitas mana yang mungkin ia pilih, kepada seniornya yang ketika itu menjadi mahasiswa. Saya disarankan mendaftar ke Universitas Jayabaya, karena kata mereka bagus. Fasilitasnya cukup lengkap dan tidak mahal-mahal amat. Menurut Ike, memang banyak kakak kelasnya di SMA yang memilih kuliah di Jayabaya. “ Bukannya ingin ikut-ikutan lho ….tapi buat saya faktor rekomendasi itu penting. Bagaimana kita bisa tahu seluk beluk sebuah universitas kalau bukan informasi dari teman-teman ?” kata Ike.

Karena kesibukannya sebagai penyanyi, Ike tidak memutuskan mengambil S1. Baginya akan lebih efisien bila mengambil program D3 dulu. Setelah mampu membagi waktu, barulah diteruskan ke program sarjana. Maka, ia memutuskan kuliah di Akademi Manajemen Perusahaan Jayabaya. Tapi, selepas D3 ia urung “istrirahat” seperti rencananya semula. “ kayaknya kok sayang ya kalau di stop, biar pun cuma sementara,” ujar wanita kelahiran 18 mei 1974 ini.

Ike menyelesaikan sarjana ekonomi manajemennya tahun 1998. Ia mengaku sangat menikmati masa-masa kuliahnya. Meski sibuk sebagai penyanyi, ia tetap meluangkan waktu untuk kegiatan kampus, ia bahkan sempat menjadi seketaris dan bendahara Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya 1995-1998.

Ike juga rajin berpartisipasi bila kampusnya mengadakan kegiatan seni. Dan karena kegiatan kampus pulalah, Ike akhirnya bertemu dengan pujaan hati yang kini telah menjadi suaminya. “Ketika itu, kampus saya ada pesta seni yang mengundang beberapa penyanyi. Salah satunya, ya kelompok Bragi. Disitu pertama kalinya saya berkenalan dengan Aldi’” ungkapnya.

M.S. Ka'banMenteri Kehutanan Periode 2004-2009"Aktivis dan Intelektual"
Pria berkumis tipis, ketika ditemui di kantornya (ketika masih menjadi anggota DPR RI) ternyata cukup ramah dan sangat antusias menceritakan berbagai kisah-kisahnya sewaktu kuliah pada akhir 70-an di Universitas Jayabaya walau ditengah kesibukan sebagai anggota MPR/DPR – RI merangkap anggota Komisi IX DPR-RI bidang ekonomi. Selepas SLTA, pilihannya hanya dua yaitu melanjutkan kuliah di IPB atau Universitas Jayabaya.
Pertimbangannya waktu itu karena Perguruan Tinggi Swasta yang status yang akreditasinya disamakan dengan negeri dan ujiannya mandiri masih sangat langka. Selain itu, satu-satunya PTS yang ada dosen bergelar professor dan banyak dosen bergelar Doktor muda hanya ada di Universitas Jayabaya serta ditinjau dari segi waktu pendiriannya Universitas Jayabaya relatif sudah lama dibanding PTS lain membuatnya semakin yakin untuk kuliah di Universitas Jayabaya.

Pria kelahiran Binjai, Riau, 5 Agustus 1958, yang kini menjadi Ketua Umuml Partai Bulan Bintang, juga Mentri Kehutanan juga menceritakan bagaimana waktu itu ia menikmati kuliah walau ia diajar oleh dosen-dosen killer, tapi manfaat waktu itu sampai kini pun tak dapat terlupakan.

Kegiatan lainnya selain kegiatan akademik, tambahnya sambil mengingat masa lalu sejenak, adalah kegiatan kemahasiswaan yang waktu itu sangat mendukung mahasiwa untuk berfikir, berkreatifitas dan berkarya, “Sehingga wajar saja, untuk setiap event kemahasiswaan saya pasti ikut serta, baik di Senat Mahasiswa, di Resimen Mahasiswa dan Unit Kerohanian Masjid”, katanya.

Alumnus yang pernah juga menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta di era 80-an dan pernah menjadi kandidat Ketua Umum PB. HMI ini, merasa sangat bersyukur dididik dan diajar di Universitas Jayabaya sehingga wajar katanya, “ Kemanapun saya berada saya selalu merasa optimis dengan bekal yang saya bawa”.
Pesannya adalah untuk generasi muda yang akan menimba ilmu di perguruan tinggi hendaknya dalam memilih perguruan tinggi tidak hanya melihat gedung yang menjulang dan fasilitas kegiatan akademik saja karena ternyata faktor aktivitas kemahasiswaan juga penting sebagai wadah untuk bereksistensi dan berkreatifitas.

Elvyn G. MassasyaDireksi Bank Permata & Ekonom"Pentingnya Melek Finansial bagi Individu dan Keluarga"
Elvyn G. Massasya, kelahiran Medan, 18 Juni 1967. Kesehariannya adalah praktisi di sebuah bank. Ia juga berprofesi sebagai kolumnis yang tulisannya tersebar di hampir seluruh media massa nasional. Selain itu, ia juga seorang pengamat keuangan & perbankan sekaligus menjadi pembicara di berbagai workshop dan seminar, serta kerap mengisi acara talk show radio maupun televisi. Setelah menyelesaikan sarjana ekonomi dari Universitas Jayabaya, pada tahun 1990, ia melanjutkan pendidikan khusus bidang perbankan (Profesional Development Program) di Instutut Bankir Indonesia. Ia menyelesaikan Magister Manajemen di Institut Teknologi Bandung untuk bidang keuangan dan perbankan. Sebelumnya, ia mengikuti program MBA di Collegio de San Juan de Letran, Filipina. Selain sebagai praktisi perbankan, ia juga pengajar di School of Corporate Leadership (SCL), Associate Consultan di Magma Consultan, Associate Director di Pusat Kajian Komunikasi Bisnis dan Politik, Chairman Financial Intellegence Institute dan Dewan Pengurus Center for Corporate Leadership. Kini, ia sedang menyiapkan beberapa buku mengenai keuangan dan perbankan. Juga, tengah menyiapkan disertai untuk program doktor (S3).(dikutip dari buku "Cara Cerdas Memutar Uang", terbitan Elex Media Komputindo)

Elza SyariefPengacara"Takkan Berhenti Menolong Orang"
Reformasi yang diwarnai euforia demokrasi, penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), telah mendongkrak popularitas banyak pengacara. Salah satu di antaranya Elza Syarief, SH. Namanya berkibar sejak dipercaya menangani kasus putera bungsu mantan Presiden Soeharto. Namun, dia pun tersandung, diduga menyuap saksi dalam kasus itu.

Wajah Elza Syarief sudah akrab dengan pemirsa televisi dan pembaca media cetak. Sebab wajah itu sudah amat sering disorot kamera televisi lokal dan internasional maupun kamera para fotografer media cetak. Penampilannya tenang dan simpatik. Cara bicaranya pun teratur, sopan dan tidak meledak-ledak. Padahal waktu kecil, dia telat bicara. Pada umur 3 (tiga) tahun baru dia bisa ngomong. Sampai masa remaja, dia juga masih banyak diam. Kata dokter, cara berpikirnya lebih cepat daripada berbicara, sehingga banyak kalimat yang hilang. Namun, dia dapat mengatasi dengan banyak belajar. Kini, popularitasnya merekah, mirip selebritis yang naik daun, terutma sejak menangani kasus Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto. Kehadirannya selalu menghiasi layar kaca dan media cetak setiap kali kasus itu mencuat di publik.

Wanita kelahiran Jakarta 24 Juli 1957 ini begitu sering tampil di media masa dan diburu wartawan. Maklum, dialah pengacara Tommy Soeharto, anak mantan Presiden Soeharto, yang setahun buron, kemudian diadili dalam kasus pembunuhan seorang hakim agung."Kalau Mas Tommy enggak buron, masalahnya iuga enggak akan heboh," kata pengacara yang sudah pernah menangani aneka kasus, kecuali kasus politik ini. Jadi pengacara Tommy, katanya, "Bukan karena mau jadi sorotan. Saya cuma ingin memberi solusi hukum yang tepat."

Kuliah Setelah Punya 5 Anak
Elza memang soerang tipe manusia yang dapat menerima apa adanya. Dia seorang penurut yang amat menghormati orang tua dan suaminya. "Pernikahan saya pun karena dijodohkan. Sebagai anak yang penurut, saya mau saja," katanya terbuka, mengenang pernikahannya dengan H. Yuswaji SIP, MBA, seorang perwira AL yang pangkat dan jabatan terakhirnya Laksamana Muda TNI dan Asintel Kasum ABRI.

Setelah menikah dan punya 5 anak, atas izin suami, Elza kuliah lagi di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. Tahun 1987 lulus dengan nilai terbaik. Teman-temannya menyarankan agar dia kursus advokat juga. Namun saat itu belum tergerak untuk menjadi pengacara.Satu saat, kebetulan ada teman wanita minta tolong dibuatkan berkas. Dasar dia memang cekatan dalam hal itu. Sekali baca kasusnya, dia sudah bisa membuat berkasnya. Kemudian, kadang dia juga menggantikan teman saat sidang. Sampai akhirnya dia benar-benar memegang kasus. Klien pertamanya seorang satpam sebuah perusahaan telepon yang di PHK tanpa pesangon. Dia berhasil memenangkan perkara itu.

"Wah, bahagia sekali. Akhirnya saya total memilih membantu orang. Di situ keberhasilan saya membela mereka dengan rasa bahagia. Ternyata kalau kita hendak beramal itu bukan semata-mata pakai uang saja. Memberi bantuan hukum juga bisa menyenangkan orang lain yang dihimpit kesulitan. Sehingga saya lihat dari sisi kemanusian bermanfaat."Sejak itu, ia memutuskan untuk tetap memilih jalur jadi pengacara. Awalnya ia sekadar ikut-ikutan dengan kantor pengacara lainnya. Pertama di Ikatan Warga Satya, yaitu kumpulan mantan CPM maupun POM AD. Kemudian ngumpul lagi di Kantor Pengacara Palmer Situmorang SH, lalu di Kantor Pengacara OC Kaligis SH.Lalu dia pun memuutuskan ikut ujian pengacara tahun1989, Advokat 1992, corporate lawyer 1998, dan pasar modal 1999. Dia mengaku banyak belajar ketika bekerja di kantor O.C.Kaligis. "Saya banyak belajar dari dia," katanya merendah. Di situ dia pernah menjadi Direktur Pidana tahun 1988-1991. Sampai akhirnya memutuskan membuka kantor advokat dan konsultan hukum sendiri di daerah Salemba.

Sejak buka kantor tahun 1991, sudah begitu banyak jenis perkara yang ditangani. Kecuali perkara politik. Karena dia enggan menanganinya. Kasus pertama yang dia pegang adalah masalah perburuhan. Makanya sampai sekarang dia tetap meberi porsi pada kaum buruh. Bahkan, dia menjabat sebagai Direktur Advokasi Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Metal Indonesia.

"Hidup itu kan harus balanced, misalnya mengambil suatu dana untuk disalurkan kepada yang berhak. Seperti khususnya pekerja yang menjadi korban PHK massal, perlu saya bantu secara cuma-cuma," ulasnya lagi.

Menurut dia, jadi pengacara itu tidak gampang. Ia mencontohkan, yang ia rasakan berat adalah permintaan atau target yang terlalu tinggi dari seorang klien untuk memenangkan kasusnya. Karena betapapun sulitnya suatu perkara, kalau target yang dibebankan tidak terlalu tinggi, hal tersebut bisa dikerjakan dengan sungguh-sungguh namun dengan suasana santai.Wanita berkacamata yang tinggal di Jl Kramat Sentiong 38A Jakarta Pusat ini juga mengaku tidak menargetkan masalah uang sebagai segalanya. "Karena saya punya kewajiban moral untuk membantu orang-orang yang memang tidak punya," ujarnya.Sejak kecil, Elza memang sudah menaruh empaty pada kaum papa. Ketika sekolah dulu, ibunya tak pernah memberi uang jajan tapi selalu dibekali makanan kecil. Satu hari, waktu mencoba pulang sendiri karena tidak dijemput, dia melihat ada orang minta-minta. Dia iba sekali karena terbiasa melihat yang bagus- bagus. Elza kecil juga heran, kok, pengemis itu jelek sekali. Akhirnya, bekal makanannya diberikan pada pengemis itu.Tapi karena makanan yang dia berikan itu kurang, dia pun menyuruh para pengemis itu datang ke rumah mengambil makanan. Maka saat keluarga Elza mau pindah ke Ambon, ibunya heran sekaligus bingung, karena begitu banyak pengemis datang ke rumah. Ternyata mereka sedih akan kepergian Elza.

(Dikutip dari www.tokohindonesia.com)

Dari Karyawan Menjadi Rekanan Toyota

Jakarta—Siapa yang membayangkan orang yang dulunya bekerja di bagian produksi pabrik Toyota Astra Motor (TAM) bisa mengubah nasibnya menjadi rekanan yang memasok komponen pada perusahaan otomotif terbesar di Indonesia tersebut? Mungkin ada, tidak tidak terlalu banyak.

Dan salah satunya adalah Nur Dahyar. Nur—demikian ia biasa dipanggil-membuka usaha pallet setelah “mencuri” ilmu di TAM selama 9 tahun. Saat ini pallet buatan perusahaannya tidak saja digunakan memenuhi kebutuhan dalam negeri tetapi juga diekspor ke luar negeri. “Sejak awal saya memang mempunyai rencana menjadi pengusaha,” ujarnya. Pada saat bekerja di Toyota tahun 1978 ia hanya berbekal ijazah SLTP. Namun keinginannya menjadi seorang pengusaha tidak pernah mati, sembari bekerja di Toyota pada malam harinya ia bersekolah SMA hingga lulus Akademi D3 komputer. Ketika bekerja di Toyota, ia pun bertekat menguasai semua bidang sehingga ia minta kepada atasannya supaya di-rolling dari satu bidang ke bidang lain.Maka sejumlah bidang di industri otomotif ini sudah ia jalani. Mulai dari bidang pengelasan, press, pengepakan, pergudangan dan lainnya.

Setelah ia memperoleh cukup ilmu akhirnya ia keluar untuk mendirikan perusahaan kecil-kecilan. Secara kebetulan ketika di Toyota ia kenal dengan Setiadi, seorang teknisi mesin yang bekerja di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Hubungan pertemanan ini berlanjut menjadi hubungan bisnis. Nur Dahyar lalu mendirikan perusahaan yang diberi nama PT Nuansa Raya Dinamika (NRD) tahun 1997. Modal awal pengembangan usaha NRD berasal dari pinjaman BNI sebesar Rp 50 juta. Pertama kali memperoleh order dari Pelindo lewat jasa temannya tersebut. Proyek yang ditanganinya adalah pembuatan 9 pemancar lampu (tower) senilai Rp 135 juta yang dilaksanakan dalam beberapa periode. “Pada bulan pertama NRD menyelesaikan order sebesar Rp 15 juta tetapi biaya yang dikeluarkan sebanyak Rp 25 juta,” ujarnya. Hal ini wajar mengingat NRD harus menginvestasikan mesin dan peralatan lain.

Setelah memiliki prospek yang baik koleganya tersebut mengajukan pensiun dini agar bisa fokus dalam mengembangkan perusahaan tersebut. Pada mulanya 100 persen saham dimiliki Nur Dahyar tetapi setelah Setiadi bergabung komposisi kepemilikan saham fity-fifty. “Kami membina hubungan berdasarkan prinsip saling percaya, walaupun sering kali beda pendapat tetapi sampai sekarang masih bisa bertahan,” kata Setiadi. Jika Dahyar lebih menguasai proses produksi maka Setiadi menangani yang berkaitan masalah keuangan. Pembagian tugas yang jelas menyebabkan masing-masing orang tahu apa yang harus dilakukan dan bidang apa yang harus dikerjakan.Beralih ke Besi/bajaSemula NRD memproduksi pallet yang terbuat dari kayu tetapi mulai tahun 2001 beralih dengan bahan baku dari besi/baja.

Sejak tahun 2002 pallet buatan NRD semua berasal dai besi/baja. Hal ini disebabkan negara seperti Malaysia dan Australia sudah tidak mau menerima pallet yang terbuat dari kayu karena menciptakan masalah lingkungan. Saat ini produk yang dihasilkan NRD tidak saja pallet baja tetapi juga peralatan konstruksi baja dan mesin-mesin sederhana. NRD telah berkembang menjadi tiga pabrik kecil yang menempati wilayah seluas 2560 meter persegi di daerah Semper. 55 persen produksi NRD untuk memasok kebutuhan Toyota sedangkan 45 persen kepada pelanggan lain.

Tercatat beberapa perusahaan seperti PT Maersk Line, SCI, American Line, Mulia Keramik mengguanakan produk NRD.Saat ini beberapa bank telah menyalurkan kredit pada UKM ini yakni Bank Niaga, Bank Permata dan Citibank. “Sekarang kredit yang bisa dikucurkan bisa mencapai Rp 1 miliar per bulan seiring dengan perkembangan perusahaan,” kata Setiadi. Ia merasa bersyukur karena omzet perusahaan yang semula hanya dibawah Rp 100 juta sekarang sudah mencapai Rp 14 miliar.Setiadi memperkirakan omset perusahaan di akhir tahun bisa mencapai Rp 20 miliar. Meskipun masih mengandalkan produksi pallet baja tetapi produk-produk lain non-pallet akan ditingkatkan. Pada 2005-2007, NRD ingin masuk pada pengembangan produk komponen mesin. Rencananya 2007-2010 investasi peralatan dan mesin-mesin sudah bisa dilakukan dan akhir tahun 2010 sudah bisa berproduksi.Khusus bahan baku perusahaannya dipasok oleh PT Krakatau Steel melalui 5 distributor dan pipa dari perusahaan Bakrie. Sejauh ini pasokan lancar sehingga produksi tidak terganggu.

Namun penguatan dolar terhadap rupiah akhir-akhir ini menyebabkan kekhawatiran karena dampaknya sangat buruk bagi usahanya.Sementara untuk jumlah karyawan terus meningkat dari tahun 1997 yang hanya Nur Dahyar dengan anggota keluarga saja. Tahun 1998 berjumlah 7 orang sekarang sudah berkembang menjadi 122 orang. Kebanyakan atau sekitar 78 orang merupakan lulusan smu, 3 dari akedemi, 6 orang univeritas dan sisanya pendidikan SD dan SMP.

Jepang ingin masukSetelah melihat prospek bisnis yang baik maka ancaman terbesar yang dihadapi perusahaan adalah rencana perusahaan Jepang melakukan investasi di sektor ini. Hal inilah yang dikhawatirkan karena bisa mengancam eksistensi NRD. Namun kebijakan Toyota yang tetap ingin mempertahankan partner lokal menyebabkan mereka belum bisa masuk.

Tetapi indikasi perusahaan Jepang ingin masuk ke sektor ini sudah ada. “Kami meminta pemerintah memperhatikan ini sebab secara modal dan teknologi mereka pasti tidak kalah,” kata Dahyar. Sebelumnya tahun 2004 NRD juga terancam setelah produk-produk bajakan dengan harga murah dari Cina diselundupkan melalui berbagai pelabuhan. “Modusnya mereka bekerja sama dengan beberapa orang aparat bea cukai untuk meloloskannya,” ujarnya.

( Sumber : Sinar Harapan 2005 )

KISAH SUKSES PENGUSAHA PROPERTY

Pak Fauzi Saleh, contoh seorang pengusaha sukses sekaligus dermawan. Ini berkat kompak dengan karyawannya. Derai tawa dan langgam bicaranya khas betawi. Itulah gaya H. Fauzi Saleh dalam meladeni tamunya.Pengusaha perumahan mewah Pesona Depok dan Pesona Khayangan yang hanya lulusan SMP tersebut memang lahir dan dibesarkan di kawasan Tanah Abang, Jakarta.

Setamat dari SMP pada tahun 1966, beliau telah merasakan kerasnya kehidupan di ibukota.Saat itu Pak Fauzi terpaksa bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel dengan gaji Rp 700 per minggu. Bahkan delapan tahun silam, dia masih dikenal sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan. Tapi, kehidupan ibarat roda yang berputar.Sekarang posisi ayah 6 anak yang berusia 45 tahun ini sedang berada di atas. Pada hari ulang tahunnya itu, pria bertubuh kecil ini memberikan 50 unit mobil kepada 50 dari sekitar 100 karyawan tetapnya. Selain itu para karyawan tetap dan sekitar 2.000 buruh mendapat bonus sebulan gaji. Total Dalam setahun, karyawan dan buruhnya mendapat 22 kali gaji sebagai tambahan, 3 bulan gaji saat Idul Fitri, 2 bulan gaji saat bulan Ramadhan dan Hari Raya Haji, dan 1 bulan gaji saat 17 Agustus, tahun baru dan hari ulang tahun Pak fauzi. Selain itu, setiap karyawan dan buruh mendapat Rp 5.000 saat selesai shalat Jumat dari masjid miliknya di kompleks perumahan Pesona Depok.

Sikap dermawan ini tampaknya tak lepas dari pandangan beliau, yang menilai orang-orang yang bekerja padanya sebagai kekasih. “Karena mereka bekerjalah saya mendapat rezeki.”, katanya.Manajemen kasih sayang yang diterapkan Pak Fauzi ternyata ampuh untuk memajukan perusahaan. Seluruh karyawan bekerja bahu-membahu.”Mereka seperti bekerja di perusahaan sendiri.” Katanya.Prinsip manajemen “Bismillah” itu telah dilakukan ketika mulai berusaha pada tahun 1989 silam, yaitu setelah dia berhenti bekerja sebagai petugas keamanan. Berbekal uang simpanan dari hasil ngobyek sebagai tukang taman, sebesar 30 juta, beliau kemudian membeli tanah 6 x 15 meter sekaligus membangun rumah di jalan jatipadang, jakarta selatan.Untuk menyiapkan rumah itu secara utuh diperlukan tambahan dana sebesar 10 juta.

Meski demikian, Fauzi tidak berputus asa. Setiap malam jumat, Fauzi dan pekerjanya sebanyak 12 orang, selalu melakukan tilawah alquran, zikir dan memanjatkan doa agar usaha yang sedang mereka rintis bisa berhasil.Mungkin karena usaha itu dimulai dengan sikap pasrah, rumah itupun siap juga. Nasib baik memihak Fauzi. Rumah yang beliau bangun itu laku Rp 51 juta.
Uang hasil penjualan itu selanjutnya digunakan untuk membeli tanah, membangun rumah, dan menjual kembali. Begitu seterusnya, hingga pada 1992 usaha Pak Fauzi membesar. Tahun itu, lewat PT. Pedoman Tata Bangun yang beliau dirikan, Pak Fauzi mulai membangun 470 unit rumah mewah Pesona Depok 1 dan dilanjutkan dengan 360 unit rumah pesona Depok 2.Selanjutnya dibangun pula Pesona Khayangan yang juga di Depok. Kini telah dibangun Pesona Khayangan 1 sebanyak 500 unit rumah dan pesona khayangan 2 sebanyak 1100 unit rumah.

Sedangkan pesona khayangan 3 dan 4 masih dalam tahap pematangan tanah.Harga rumah group pesona milik Fauzi tersebut antara 200 juta hingga 600 juta per unit. Yang menarik tradisi pengajian setiap malam jumat yang dilakukannya sejak awal, tidak ditinggalkan. Sekali dalam sebulan, dia menggelar pengajian akbar yang disebut dengan pesona dzikir yang dihadiri seluruh buruh, keluarga dan kerabat di komplek pesona khayangan pertengahan september lalu, ada sekitar 4.000 orang yang hadir. Setiap orang yang hadir mendapatkan sarung dan 3 stel gamis untuk shalat.

Setelah itu, ketika beranjak pulang, setiap orang tanpa kecuali, diberi nasi kotak dan uang Rp 10.000. tidak mengherankan, suasana berlangsung sangat akrab. Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Tidak ada perbedaan antara bawahan dan atasan.Menurut Fauzi, beliau sendiri tidak pernah membayangkan akan menjadi> seperti ini.”Ini semua dari Alloh. Saya tidak ada apa2nya.” Kata pria yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini. Karena menyadari bahwa semua harta itu pemberian Alloh,Pak Fauzi tidak lupa mengembalikannya dalam bentuk infak dan shadaqoh kepada yang membutuhkan.

Tercatat, beberapa masjid telah dia bangun dan sejumlah kaum dhuafa dan janda telah disantuninya. Usaha yang dijalankannya tersebut, menurut Pak Fauzi ibarat menanam padi.”Dengan bertanam padi, rumput dan ilalang akan tumbuh. Ini berbeda kalaukita bertanam rumput, padi tidak akan tumbuh”. Katanya.Artinya, Pak Fauzi tidak menginginkan hasil usaha untuk dirinya sendiri.”Saya hanya mengambil, sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan sosial.” Katanya.Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, sedangkan selebihnya dipakai sebagai modal usaha. Sejak empat tahun lalu, ada Rp 70 milyar yang digunakan untuk kegiatan sosial.”Jadi, keuntungan perusahaan ini adalah nol.” Kata Pak Fauzi.(Source:berani gagal.com)

KISAH SUKSES PENGUSAHA BURGER

Lulusan STM bangunan ini mengawali bisnisnya hanya dengan dua gerobak. Kini, ia memiliki 10 pabrik dan 2.000 outlet Edam Burger yang tersebar di seluruh Indonesia. Segalanya tentu tak mudah diraih. Bahkan, ia pernah menjalani hidup yang keras di Jakarta.

(Di rumah mungil di kawasan Perumnas Klender, Jakarta Timur, belasan pegawai berkaus merah kuning terlihat sibuk. Roti, daging, sosis, hingga botol-botol saus kemasan bertuliskan Edam Burger disusun rapi dalam wadah-wadah plastik siap edar. Seorang lelaki bercelana pendek berhenti bekerja, lalu keluar menyambut NOVA.
Pembawaannya sederhana, tak ubahnya seperti pegawai lain. Sambil tersenyum hangat, ia pun memperkenalkan diri. “Aduh maaf, ya, saya tidak terbiasa rapi, hanya pakai oblong dan celana pendek,” tutur Made Ngurah Bagiana, sang pemilik Edam Burger. Beberapa saat kemudian, Made bercerita.)

Terus terang, saya suka malu dibilang pengusaha sukses yang punya banyak pabrik dan outlet. Bukan tidak mensyukuri, tapi saya hanya tak mau dicap sombong. Saya mengawali semua usaha ini dengan niat sederhana: bertahan hidup. Makanya, sampai sekarang saya ingin tetap menjadi orang yang sederhana. Sesederhana masa kecil saya di Singaraja, Bali.

Orang tua memberi saya nama Made Ngurah Bagiana. Saya lahir pada 12 April 1956 sebagai anak keenam dari 12 bersaudara. Sejak kecil, saya terbiasa ditempa bekerja keras. Malah kalau dipikir-pikir, sejak kecil pula saya sudah jadi pengusaha. Bayangkan, tiap pergi ke sekolah, tak pernah saya diberi uang jajan. Kalau mau punya uang, ya saya harus ke kebun dulu mencari daun pisang, saya potong-potong, lalu dijual ke pasar.

Menjelang hari raya, saya pun tak pernah mendapat jatah baju baru. Biasanya, beberapa bulan sebelumnya saya memelihara anak ayam. Kalau sudah cukup besar, saya jual. Uangnya untuk beli baju baru. Lalu, sekitar usia 10 tahun, saya harus bisa memasak sendiri. Jadi, kalau mau makan, Ibu cukup memberi segenggam beras dan lauk mentah untuk saya olah sendiri.
PENSIUN JADI PREMANBegitulah, hidup saya bergulir hingga menamatkan STM bangunan tahun 1975. Bosan di Bali, saya pun merantau ke Jakarta tanpa tujuan. Saya menumpang di kontrakan kakak saya di Utan Kayu. Untuk mengisi perut, saya sempat menjadi tukang cuci pakaian, kuli bangunan, dan kondektur bis PPD.

Kerasnya kehidupan Jakarta, tak urung menjebloskan saya pada kehidupan preman. Bermodal rambut gondrong dan tampang sangar, ada-ada saja ulah yang saya perbuat. Paling sering kalau naik bis kota tidak bayar, tapi minta uang kembalian. (Sambil berkisah, Made terbahak tiap mengingat pengalaman masa lalunya. Berulang kali ia menggeleng, lalu membenarkan letak kacamatanya).

Toh, akhirnya saya pensiun jadi preman. Gantinya, saya berjualan telur. Saya beli satu peti telur di pasar, lalu diecer ke pedagang-pedagang bubur. Ternyata, usaha saya mandeg. Saya pun beralih menjadi sopir omprengan. Bentuknya bukan seperti angkot ataupun mikrolet zaman sekarang, masih berupa pick-up yang belakangnya dikasih terpal. Saya menjalani rute Kampung Melayu - Pulogadung - Cililitan.

Tahun 1985, saya pulang ke kampung halaman. Pada 25 Desember tahun itu, saya menikah dengan perempuan sedaerah, Made Arsani Dewi. Oleh karena cinta kami bertaut di Jakarta, kami memutuskan kembali ke Ibu Kota untuk mengadu nasib. Kami membeli rumah mungil di daerah Pondok Kelapa. Waktu itu saya bisnis mobil omprengan. Awalnya berjalan lancar, tapi karena deflasi melanda tahun 1986-an, saya pun jatuh bangkrut. Kerugian makin membengkak. Saya harus menjual rumah dan mobil. Lalu, saya hidup mengontrak.

NYARIS TERSAMBAR PETIRTitik cerah muncul di tahun 1990. Saya pindah ke Perumnas Klender. Tanpa sengaja, saya melihat orang berjualan burger. Saya pikir, tak ada salahnya mencoba. Saya nekad meminjam uang ke bank, tapi tak juga diluluskan. Akhirnya saya kesal dan malah meminjam Rp 1,5 juta ke teman untuk membeli dua buah gerobak dan kompor.
Bahan-bahan pembuatan burger, seperti roti, sayur, daging, saus, dan mentega, saya ecer di berbagai tempat. Dibantu seorang teman, saya menjual burger dengan cara berkeliling mengayuh gerobak. Burger dagangannya saya labeli Lovina, sesuai nama pantai di Bali yang sangat indah.

Banyak suka dan duka yang saya alami. Susahnya kalau hujan turun, saya tak bisa jalan. Roti tak laku, Akhirnya, ya, dimakan sendiri. Masih untung karena istri saya bekerja, setidaknya dapur kami masih bisa ngebul. Pernah juga gara-gara hujan, saya nyaris disambar petir. Ketika itu saya tengah memetik selada segar di kebun di Pulogadung. Tiba-tiba hujan turun diiringi petir besar. Saya jatuh telungkup hingga baju belepotan tanah. Rasanya miris sekali.
Di awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang menghampiri, padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin berpikir, burger itu pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya mematok harga Rp 1.700 per buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai ketagihan. Dalam sehari bisa laku lebih dari 20 buah.

Untuk mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan burger di depan rumah atau sekolah. Mereka ambil bahan dari saya dengan harga lebih murah. Sungguh luar biasa, upaya saya berhasil. Dalam dua tahun, gerobak burger saya beranak menjadi lebih dari 40 buah. Saya pun pensiun menjajakan burger berkeliling dan menyerahkan semua pada anak buah.

Tak berhenti sampai di situ, tahun 1996 saya mencoba membuat roti sendiri dan membuat inovasi cita rasa saus. Seminggu berkutat di dapur, hasilnya tak mengecewakan. Saya berhasil menciptakan resep roti dan saus burger bercita rasa lidah orang Indonesia. Rasanya jelas berbeda dengan burger yang dijual di berbagai restoran cepat saji.

KISAH PENGUSAHA SUKSES

Kisah ini menceritakan seorang tokoh yang bernama CINTA yang berjuang dan bertahan hidup untuk mencari cintanya. Pada akhirnya dia kalah dan tetap tak mengerti akan cintanya. Ternyata kekalahan akan cinta tidak hanya ada didalam benak khayalku saja. Tetapi memang dalam kehidupan nyata sejak dahulu kala ada. Anda tahu bagaimana Julis Caesar jatuh pada saat kejayaannya hanya karena mencintai seorang Cleopatra, atau cerita Napoleon Bonaparte… Ahhhh tak perlu aku ceritakan lagi itu. Sudah banyak diceritakan dan kebenarannya diragukan. Aku punya cerita nyata tentang hal itu, berdasar biografi seorang tokoh hebat dan terkenal.

Ada seorang jenius dan sukses. Namanya David William McCall. Dia pendiri McCall International, perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi, hardware dan software, rancang bangun komputer serta bidang usaha sejenisnya. Perusahaannya biasa disingkat MCI, “Pernah dengar atau tahu?”. Dibidang software saingannya hanya Linux dan dibidang rancang bangun (bulid up) komputer saingannya hanya IBM. Saat itu belum ada Personal Computer, Compaq dan Hawlett Packard dibawah mereka. Penghasilan mereka 700 juta US dollar pertahun, hampir sama dengan Onassis. Bayangkan seberapa kaya dia, dalam usia muda, 30 tahunan sudah sekaya dan sesukses itu.

Tapi William adalah penganut paham antikemapanan. Dia benci pemerintahan yang korup dan kotor, tidak suka hidup mewah, ingin menghilangkan kemiskinan dan hanya ingin hidup sederhana. Hampir mirip dengan kaum sufi. Atau bisa dibilang juga, aku mirip dia. He..he..he.. William pernah pergi dari kemapanan. Pada usia 21 tahun, setelah menyelesaikan kuliahnya jurusan kedokteran di Harvard University, William menghilangdikarenakan hanya bapaknya, Nathan McCall, seorang yang cukup berpengaruh. Akhirnya William ditemukan 3 tahun kemudian dipedalaman Afrika. Dia mengabdikan ilmu kedokterannya pada kaum primitif dan di sana tidak mengenal uang dan peradaban sama sekali. Hebat juga Tuan muda William ini. Dia kembali kekemapanan yang sebenarnya dia benci. Sekembalinya, William kuliah lagi di MIT. Pada usia 28 tahun dia lulus dan mendirikan perusahaan McCall Int. Baru usia 32 tahun dia jatuh cinta dan menikahi seorang wanita yang sebenarnya hanya mencintai hartanya. William tidakmengerti cinta. Dia mudah dikibuli dan dikelabuhi istrinya yang sebenarnya mencintai pemuda pegawai William. Anda tahu siapa nama pemuda tersebut?….. BILL GATE. Usia perkawinannya sangat singkat hanya sekitar 1 tahun. Saat dia pulang dari luar negeri dan menuju rumah mewahnya dibukit, William menemukan istrinya sedang bercumbu dengan pemuda itu. Dengan kecewa William pergi lagi sendirian tanpa sepengetahuan istrinya yang sedang asyik bermain cinta tersebut. Dia membuang mobil mewah yang biasa dipakai itu kejurang dan melanjutkan dengan jalan kaki dengan langkah gontai dan tak tahu kemana arah tujuannya serta dengan hati yang terasa disayat sembilu. Karenamobilnya ditemukan didasar jurang, William dinyatakan meninggal dalam kecelakaan.Karena tidak meninggalkan surat wasiat apapun, istrinya bisa menguasai semua harta dan perusahaannya. MCI kacau balau, perusahaan itu terpecah. Bill Gate bersama pendukungnya mendirikan perusahaan sejenis dengan nama Microsoft dan mengeluarkan basic application program yang anda kenal dengan merk Windows. Bersama musuh besar MCI, IBM.. Microsoft mengeluarkan personal Computer yang sekarang ada didepan Anda. Tak lama kemudian mengeluarkan beberapa software. Tapi hanya menguasai pasar di Asia. Sementara sisanya dikuasai oleh perusahaan yang didirikan orang-orang MCI, yang percaya bahwa William masih hidup dan mereka mengabdi padanya.

Anda tahu cerita rakyat Amerika “Tragedi buah Apel”, maka Apple dijadikan nama danlambang perusahaan itu. Sekarang, dengan BAP “Macintosh”, Aplle mulai bergerak dan menyaingi Microsoft di pasar Asia. Anda lihat sekarang banyak perusahaan besar di Indonesia menggunakan Apple Macintosh, bukannya Microsoft Windows. Sementara pegawai MCI yang netral memisahkan diri dan membuat perusahaan software. Terpecah menjadi tiga yaitu Adobe, Aldust dan Corel. Karena netral mereka membuat sofware dalam dua versi, versi Windows dan versi Macintosh. Tapi akhirnya Aldust bangkrut danmerger dengan Adobe.
Bill Gate memang merebut segalanya dari William, istri, harta dan perusahaannya. Tapi secara hukum, Bill Gate tak bisa disalahkan. Bill gate juga mencuri rumusan Microchip Processor ciptaan William yang ditemukan dibekas ruang kerja William. Akhirnya Bill Gatelah yang memegang hak cipta Processor, terutama di Intel dengan Pentium-nya.Hanya tinggal divisi telekomunikasi yang masih ada di MCI yang dipimpin oleh adik William. Produk alat komunikasi andalannya ada diseluruh pelosaok dunia. Anda pasti tahu!. Itu lohhh… MOTOROLA.
Tujuh tahun kemudian, David William McCall dinyatakan masih hidup. William ditemukan sebagai gelandangan (tunawisma) di kota San Fransisco. William kembali pada kemewahan, namun sekarang diawasi tim dokter karena kesehatan fisik dan jiwanya terganggu. Entah alasan apa, mungkin karena jenuh dengan segala kemewahan atau karena tahu istrinya tidak mencintai dia. William bunuh diri pada usia 47 tahun. Sangat tragis………

Ada seorang penulis yang tertarik pada kisah hidup William. Penulis pintar dan serba bisa ini mewawancarai orang-orang yang pernah mengenal atau berada dalam lingkungan William, serta mengumpulkan data-data yang bisa mendukung tulisannya. Akhirnya keluarlah buku biografi William. Sayang buku tersebut dilarang terbit setelah 1 tahun beredar dipasaran. Setahun kemudian penulis itu mati ditembak. Anda tahu beritanya?,seorang penulis dan juga astronom yang ditembak tepat dikepalanya hanya beberapa meter dari rumahnya. Penembakan itu tidak terungkap dan terorislah yang dituduh.

Orang-orang Eropa dan Amerika yang pernah membaca biografi William, dan sebagian kecil orang Asia yang tahu cerita ini, pasti akan membenci Bill Gate. Walaupun Bill Gate tidak sebegitu bersalah. Makanya kenapa produk-produk Microsoft tidak pernah sukses dipasar Eropa dan dipasar Amerika. Makanya juga banyak peretas (Hackers) berusaha mengacau dan menjebol Microsoft, terus mengungkap kekurangan dan kelemahan produk Microsoft. Pernah juga cerita ini difilmkan. Tapi cerita sedikit diubah. Menyembunyikan beberapa fakta dan hal yang mungkin membahayakan film itu sendiri. Atau mungkin pembuat film takut dibunuh seperti yang terjadi pada penulis itu.

Bayangkan…. Begitu tragisnya nasib Tuan William ini. Dia HEBAT, SUKSES dan MENANG DALAM KEHIDUPAN. Tetapi semua hilang sekejap hanya karena dia mencintai seorang wanita. Memang tidak semua kisah cerita berakhir tragis. Masih ada cerita Romeo dan Juliet yang akhirnya bahagia dalam cinta yang indah. Atau cerita tentang Cinderella dengan sepatu kacanya. Tapi sayang, itu hanya cerita khayalan dari penulis legendaris. Lalu pertanyaan dibenakku… Apakah yang namanya CINTA itu benar-benar ada dan nyata dalam hidup kita sebagai manusia? Apakah rasa sayang terhadap orang tua, saudara, teman, anak, istri, sahabat, famili serta rasa kasih terhadap diri sendiri, lingkungan dimana kita hidup….. itu juga dinamakan dengan Cinta? Aku benar-benar tak mengerti.

Jika anda tahu, tolonglah aku dan berikan jawaban logis agar aku bisa mengerti. Karena yang aku tahu selama ini Cinta hanya ada dalam benak penulis novel, sastrawan, penulis skenario dan penyair. Aku melihat cinta hanya ada didalam novel, cerita sastra, panggung drama, film dan sinetron, atau lirik sebuah lagu. Mungkinkah sangat kompleksnya cintasehingga tidak bisa didefinisikan. Setiap orang didunia punya pengertian dan definisi masing-masing tentang kata “CINTA”. Ahhhhhh…. gak usah terlalu anda pikirkanlah. Itu hanya ungkapan kegelisahanku saja. Orang-orang sehebat Julius Caesar, Napoleon Bonaparte, atau yang barusan aku ceritakan tuan David William McCall saja tidak mengerti tentang cinta. Bahkan mereka gagal hingga menghancurkan hidupnya,…. apalagiorang setolol aku, mana mungkin mengerti CINTA.

Kisah Cinta Sejati

Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”

Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”

Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telahmemperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.

Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.

Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.

Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tibawaktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.

Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.

Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”

Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun. Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnunduduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.

Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.

Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad embantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.

Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.
Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.

Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi.Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajahLaila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecualidetak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan danlupa waktu.

Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun diluar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salahseorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dankawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila,maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dankebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.
Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiappintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumahLaila, bahkandari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, denganbertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu samalain, sungguh ia salah besar.

Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untukmengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuahkafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pundisambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincangtentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkautahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu“Cinta dan Kekayaan”.

Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa akusanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagiadan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya akumenolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia danterhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkankukalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya.Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi daniapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakankawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku,akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”

Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, duluanaknya adalah teladan utama bagi kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anakyang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yangdapat dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya.Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akandiam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,”pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”

Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pestamakan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu,gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisamengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnundiam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangansambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagaikesamaan dengan yang dimiliki Laila.

Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnyapunya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum miripLaila. Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya,Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta ituhanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berangdan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusahamengelabuinya.

Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnyasebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hinggaakhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini,ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekahdengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yangmenghancurkan ini.
Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah,tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja ParaPecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu halsaja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa,cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagiyang bisa ia lakukan untuk anaknya.

Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orangbanyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Iatidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggaldireruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggaldidalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentangMajnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya.Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwaMajnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelanbumi.

Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat adasesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar denganrambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunyacompang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidakberoleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur dikakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkanpandangan ke arah kejauhan.

Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apayang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahubahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnyadibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitanmenyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalamkenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehinggalumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buasitu.

Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahuibahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buasseperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sangmusafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya padaLaila. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sangmusafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya.
Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya,sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafirke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira danbahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untukmenjemputnya.

Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayahMajnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknyaterjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agarEngkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sangayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempatpersembunyiannya. Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahaiayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolonglupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankanbeban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untukmencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuanterakhir mereka.

Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menanganisituasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruhkeluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabatLaila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Iaberpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubahsyair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika iadiperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertaskecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalampotongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan carademikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.

Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datangmengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahubahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannyamelantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.

Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahutentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dankasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalahseorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalamperjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangatterkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.

Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga iabersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan duakekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya!Kaetika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukanini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyakorang yang terbunuh atau terluka.

Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkanpesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkanputriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau inginmembunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernahbisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medanpertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajuritdan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat merekadengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.

Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapaia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desakekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikianbersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yangdikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia punmemerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpamengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.
Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ianikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannyamenuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila danserta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencariayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru sajamenimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujuiperkawinan itu.

Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebihsenang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan danpermohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama sajakeadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Lailamerasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.
Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisamencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karenaitu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin,masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengarkata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapawaktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksaLaila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis danmeratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayathati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikutmenangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yangberkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannyaini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian danketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terustinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malahmenjadi semakin lebih dalam lagi.

Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atasperkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanyameminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku,sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernahlupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanyaakan memanggil-manggil namamu, Laila”.
Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tandapengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalamhidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikianlama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamuke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkaumembakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harusmenghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milikorang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabukcinta, engkau ataukah aku?.

Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetaptinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbangsebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabatbinatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkansyair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunyapendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapaikedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yangsanggup mengusik dan mengganggunya.

Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasilmendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berliandan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salamsudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasapahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya.Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakanhubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luardengan Laila.

Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila iaditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangatsingkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebabhidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musimpanas, ia pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngadukperasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam,padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lamadirindukannya.

Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanyasekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannyadengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumahayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana,yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makinmembara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikandirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selamabermalam-malam.

Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannyahanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggupbertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapabulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, iamasih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagiuntuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintukalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan iaakan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatumalam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggaldunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lamakemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu,ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diriselama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menujudesa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atastanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luarkota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.

Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya,per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggaldunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selamasetahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dankerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di ataskuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa ituadalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur disamping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kinibersatu kembali.

Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadirdi hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang danmendudukkannya disisi-Nya.Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkahengkau malu memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminumanggur Cinta-Ku?”
Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengansangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia punbertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang ? Begitu pikiranini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban kepadanya,“Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasiaCinta dalam dirinya sendiri.”

Wa min Allah at Tawfiq
Diambil dari Negeri Sufi ( Tales from The Land of Sufis )
Tentang Penulis Laila Majnun, Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs :
Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi terkemuka diabad pertengahankarena dua roman cinta yang menyayat hati, yaitu Laila & Majnun serta Khusrau &Syirin. Kisah sedih Laila & Majnun , dimana Majnun yang berarti “Tergila-gilaakan Cinta”, karena cintanya yang tak sampai pada Laila, akhirnya membuatnyagila. Kisah cinta ini dibaca selama berabad-abad, ratusan tahun jauh sebelumRomeo & Julietnya Wiliam Shakespeare sehingga Kisah Laila & Majnun terkenalsebagai kisah cintanya Persia .

Syaikh Nizhami qs adalah seorang Syaikh Sufi, dan yang dimaksud “kekasih”dalam berbagai kisahnya sesungguhnya adalah perwujudan Allah swt. SyaikhNizhami hidup dari tahun 1155 M – 1223 M, beliau lahir dikota Ganje diAzerbaijan. Ia telah menempuh jalan sufi semenjak masa mudanya, dan ia diajaroleh Nabi Khidir as, Sang Pembimbing Misterius dan ia dilindungi 99 Nama AllahYang Maha Indah ( Asmaul Husna).

Syaikh Nizhami qs sangat menguasai berbagai macam ilmu, seperti matematika,filsafat, Hukum Islam, dan kedokteran. Banyak karyanya merupakan pelajarantersembunyi bagi pemeluk tariqah sufi dan penempuh jalan spiritual. Karya SyaikhNizhami qs terkenal karena bahasanya yang halus. Karya Laila dan Majnunsebenarnya berbentuk sajak berirama sebanyak 4500 syair sajak, yang dikenaldengan sebutan Matsnawi. Sebagaimana lazimnya terjadi pada para Syaikh Sufi,yang tertinggal dari Syaikh Nizhami qs adalah ajaran-ajaran sufi yang sangattinggi.

Rabu, 12 Maret 2008

Making a pair of medieval ‘bag’ shoes

by howardelliot
Making a pair of medieval ‘bag’ shoes



This document covers the making of a make a pair of medieval hide shoes which is any shoe made from a single piece of leatherfitted to the foot. Specifically Cuarans (in Celtic), Rivelins (in Teutonic or Scottish), or sometimes referred to as bag shoes byScadians.



This is a relatively simple shoe design dating back to at least the7th century based upon finds from a bog in Ireland. Theshoes are constructed from one piece of leather stretched and gathered about the foot with thongs. The dating on these shoes arenot exact, since no datable reference artifacts were found (or recorded as being found) with them.



This is a common problem with allleather goods due to the tanning processes used and the permeable nature of the leather itself. Similar shoe designs are still in usetoday in the British Isles, Iceland, Norway, and Estonia, and the design is such that it may go farther back and be present amongstmany peoples with a strong background in hunting and animal herding.



A monk named John Eldar in 1543 described theconstruction of similar footwear by a Scottish hunter to Henry VIII in a letter.These shoes were constructed from modern tanned leather using a utility knife, a measuring tape, and a lace cutter (if you don’thave ready-made lace). If desperate you could easily get away with just using the knife. Period materials would have consisted ofuncured hide, vegetable tanned leather, and possibly Alum tanned leather (used by the invading Romans). The shoes areconstructed without a separate sole or bottom reinforcement. Evidence does point to the use of grasses and cloth substances asinterior padding and insulation. When using hides that still have fur the shoe was constructed fur side out. The general constructionof the shoe is taken in three steps. If you reverse this concept using a ¾ knap sheepskin you can make yourself a very comfortableand warm set of slippers. Construction is done in 3 steps; the cutting of the leather upper and the thongs, the cutting of the lacingslots in the leather upper, and the lacing of the shoe.On the cutting of the uppers and thongs. The upper is constructed from a ‘horse shoe’ shaped piece of leather chosen for its’flexibility and availability (3oz to 8oz). The forward end of the shoe (the curved end in figure 1) needs to have the most flexibility, socut your leather with this in mind. If the leather needs some softening I suggest chewing on it a bit (yum, yum).

The piece is sized asin figure 1.Figure 1



Pattern Dimensions:

A) Length from heel to tip of most protruding toe plus 1 to 2 inches.B) Distance from ground to ankle +-1 inch. I like just below the ankle.C) Distance around the foot at the instep.D) Distance around the foot at the ball of the foot.I like to smooth out the pattern so the width over the length of the pattern is C or D whichever is largest. The curving starts near theball of the foot. Transcribe the measurements to the leather and cut out the upper. Strong lacing will be needed for the gatheringthe shoe over the foot. So purchase a good lace material or cut it from a strong hide. The lace should be between 3/16 and 1/4 ofan inch in width. You will need about 3 feet of lace per shoe.On the cutting of the lacing slots in the leather upper. Slots are then cut around the edges of the hide starting from the center ofthe piece. Each slot should be at least 3/16ths inch in form the edge of the upper. Each slot is about 1/4 of an inch long and 1/4 toMaking a pair of medieval ‘bag’ shoesPage 2 of 33/8ths of an inch apart (the distance apart will need to be increased as the leather thickness increases). Placement of the slots ismade according to figure 2 and figure 3.Figure 2 Lacing Slot LocationsE) The distance necessary to allow a fold about the width of the heel when the heel excess is folded up.F) The distance from the heel to the instep plus 1 to 2 inches.Six ankle slots are cut evenly spaced around the ankle. The Heel excess is found (see figure 3) by butting the rear end (flat edge) ofupper together around your heel. To facilitate this butt the rear end of the hide together and tape it in place with a bit of masking tape(from the inside of the leather so as to leave no noticeable marks). A point will be created at the bottom. If this is folded up the pointwill come to the place to cut heel slot #3 and continue cutting the rest of the heel slots until the top edge of the shoe is reached.Figure 3 Determining the Heel ExcessOn the lacing of the shoe.



The final step is the lacing of the shoe together. There is no set pattern for lacing hide shoes. Thedesign and fit of the shoes can be drastically changed by the pattern of lacing in the upper (see figure 4 below). For example byrunning the lace around the edge of the shoe and gathering the leather you can make the shoe have an open face. The pattern oflacing varies according to personal taste and skill. Lacing patterns need to be experimented with for best-fit and maximum comfort.Creasing (I usually fold the leather and chew it until it keeps the fold) the leather where it gathers helps to give the shoes more form.Figure 4 Options used when lacing the vampIn general lace the shoes as follows:Making a pair of medieval ‘bag’ shoesPage 3 of 3Heel:Figure 5 Lacing the HeelVAMP (part across top of foot):Figure 6 Lacing the VampWhen the slot pair on the instep is reached continue by lacing around the edge of the upper and tie the shoe in the most comfortablefashion (figure 5).Figure 7 Lacing around the ankleBefore serious wear (Pennsic and the like) it may be a good idea to protect your mundane feet by sewing or gluing on a sole,padding the interior (a commercial insert with arch support works great), or by wearing foot coverings (socks).REFERENCES:1) Margrethe Hald, Primitive Shoes. National Museum of Denmark, Copenhagen 1972.2) Miss A.C. Metcalf and R.B. Longmore, Leather Artifacts from Vindolanda, Manchester University 1972-73. An article from amuseum publication on English medieval shoes.

Selasa, 19 Februari 2008

THE HISTORY OF SHOES

SHOE MAKING

Shoes both protect feet as well as, when incompatible in size and shape, present exciting factors in inflam-matory conditions e.g. bunion. Despite the presence of pain, people are reluctant to change their footwear styles. The main function of modern footwear is to provide feet with protection from hard and rough surfaces, as well as climate and environmental exposure. To the wearer the appearance of their footgear is often more important than its (mis) function.

Consumer resistance to change style is common. Informed decisions of shoe styles are thought to occur when the benefits of alternative shoe styles are carefully explained and footwear habits discussed in a culturally sensitive manner. The author, in the interests of intellectual exchange, explores the world of shoe making in an attempt to inform both lay person and health professional.

Anatomy of the Shoe
Shoe Lasts & Metrology
Methods of Shoe Construction
Shoe Styles
Shoe Size Systems
Problem Fitting
Footwear Assessment
DIscussion
References
Further Reading

Anatomy of the shoe
According to McPhoil (1988) the anatomy of a shoe can be divided in an upper and lower (or bottom part). Sections of the upper include vamp, quarter, toebox, throat, insole board, and topline. The sections of the lower shoe consist of an outsole, shank and heel.

The Upper of the Shoe
All parts or sections of the shoe above the sole that are stitched or otherwise joined together to become a unit then attached to the insole and outsole. The upper of the shoe consists of the vamp or front of the shoe, the quarter i.e. the sides and back of the shoe, and the linings. Uppers are made in a variety of different materials, both natural and synthetic. Leather became the obvious cover of choice because it allowed air to pass through to and from the skin pores thereby providing an opportunity to keep the feet, cool. The plastic properties of animal skins further help mould the shoe to the foot beneath. The ability for leather to crease over flexor surfaces facilitate the function of the foot. Ironically synthetics used as uppers display elastic properties, which mean the shoe upper never quite adjusts to the foot, shape in the same way as natural leather. Synthetics are cheaper to mass-produce and are now found in most mass produced footwear. Synthetic uppers are more waterproof. Woven fabric such as cotton corduroy can be used as uppers. Classified as breathable fabrics these help aeration.

Vamp
The vamp covers the dorsum of the foot (includes the tongue piece) and superior aspects over the toes. This section i.e. the toe puff is reinforced which serves to give the shoe its shape as well as protect the toes. The vamp is often made of more than one piece, creating a decorative pattern. There are various types of vamps suited to different styles of shoes.

Quarter
The complete upper part of the shoe behind the vamp line covering the sides and backpart. The top edge of the sides and back of the quarter describes the topline of the shoe. In athletic shoes the topline is often padded and referred to as a collar. The medial and lateral sections join in a seam at the posterior end of the shoe.
In Oxford style lacing shoes, the eyelet section is formed by the superior part of the quarter (while the underlying tongue is part of the vamp).
In the Gibson style the lacing segment forms part of the vamp. The heel section of the quarter is frequently reinforced with a stiffener. This helps support the rearfoot. In boots the quarter is often referred to as 'top'.
In the Bal method, the front edges of both quarters are stitched together and covered with the back edge of the vamp.
In the Blucher method the quarter panels are placed on top of the vamp, and the front edges are not sewn together. In comparison with the Bal method, the Blucher method permits the fitting of a larger foot girth by broadening the throat of the shoe. A convalescent shoe (open to toe) is a variation on the Blucher method in which the lacing extends to the front edge of the vamp. In athletic shoes the vamp and quarter panels are often one continuous piece of nylon or leather with additional leather pieces added to reinforce critical areas of the shoe. Reinforcement added to the region of the medial longitudinal arch are termed the saddle if it is added to the outside of the shoe or the arch bandage if it is added to the inside of the shoe.

The counter is a component of the quarter that stabilises the hindfoot in the shoe and retains the shape of the posterior portion of the shoe. Counters are usually made from fibreboard or heat moulded plastic. Foxing is an additional piece of leather that covers the counter externally. Sometimes a counter will extend medially to support the heel and prevent prolonged pronation. In some children's shoes and athletic footwear the stiffener is extended on the medial of the arch to provide an anti-pronatory wedge.
you are here

Toecap
Many shoes incorporate a toecap into the upper of the shoe. Toecaps are either stitched over or completely replace the distal superior aspect of the vamp and can be made into a decorative features referred to as toe tips. The toe box refers to the roofed area over and around the part of the shoe that covers the toes. The function of the toe box is to retain the shape of the forefoot and allow room for the toes. The height and width of the toe box is dictated by shape of the last used to construct the shoe. Certain types of non-athletic and athletic footgear will offer extra depth in the toe box.

Linings
In quality shoes the quarters and vamps are lined to enhance comfort and durability. Linings may consist of various materials ie leathers, fabrics, and manmade synthetics. The lining on the insole segment is called 'the sock' and may be full-length, three-quarter or just the heel section. Many linings are made of syn-thetic material and are usually confined to the quarters and the insock.


Throat
The central part of the vamp just proximal to the toe box. The throat is formed by the seam joining the vamp to the quarter i.e. throatline. The position of the throat line depends on the construction of the shoe, for example a shorter vamp and longer quarters define a lower throat line. This gives a wider lower opening for the foot to enter the shoe. The throat is defined by the connection of the rear edge of the vamp and the front part of the quarter. The location of the throat will vary with the design of the shoe. Because the vamp and quarter panels are often one piece in the athletic shoe, the throat is at the eyestay. This refers to the point where the lacing is attached to the vamp. The throat of the shoe dictates the maximum girth permitted by the shoe.
The Sole of the Shoe
The term sole derives from 'solea' a Latin word meaning soil or ground.

Insole (inner sole)
A layer of material shaped to the bottom of the last and sandwiched between the outsole (or midsole) and the sole of the foot inside the shoe. The insole covers the join between the upper and the sole in most methods of construction and provides attachment for the upper, toe box linings and welting. This provides a platform upon which the foot can operate and separates the upper from the lower. The insole board is necessary in shoes that are constructed using cemented or Goodyear welt techniques because it is the attachment for upper and lower components. The majority of insole boards are made of cellulose and are treated with additives to inhibit bacterial growth. Athletic shoewear will often have a sockliner, a piece of material placed over the top of the insole board (glued in position or removable.

Outsole
This is the outer most sole of the shoe, which is directly exposed to abrasion and wear. Traditionally made from a variety of materials, the outsole is constructed in different thickness and degrees of flexibility. Ideal soling materials must be waterproof, durable and possess a coefficient of friction high enough to prevent slipping. Leather has poor gripping capabilities and synthetic polymers are much preferred. There are also an infinite variety of surface designs. Extra grip properties can be incorporated in the form of a distinctive sole pattern with well-defined ridges. Alternatively they can be moulded with cavities to reduce the weight of the sole. These cavities need to be covered with a rigid insole or can be filled with light foam to produce a more flexible sole. In some cases two or more materials of different densities can be incorporated into the sole to give a hard wearing outer surface and a softer, more flexible midsole for greater comfort. Synthetic soling materials will off the physical property of dampening down impact levels (shock attenuation).

Shank
The shank bridges between the heel breast and the ball tred. The shankpiece or shank spring can be made from wood, metal, fibreglass or plastic and consists of a piece approximately 10cm long and 1.5 cm wide. The shank spring lies within the bridge or waist of the shoe, i.e. between heel and ball corresponding to the medial and lateral arches. The shankpiece reinforces the waist of the shoe and prevents it from collapsing or distorting in wear. The contour of the shank is determined by heel height. Shoes with low heels or wedged soles do not require a shank because the torque between the rear and forefoot does not distort the shoe.

Heel
The heel is the raised component under the rear of the shoe. Heels consist of a variety of shapes, heights, and materials and are made of a series of raised platforms or a hollowed section. The part of the heel next to sole is usually shaped to fit the heel, this is called the heel seat or heel base. The heel breast describes front face of the heel. The ground contact section is called the top piece. Heels raise the rear of the shoe above the ground. A shoe without a heel or midsole wedge may be completely flat. When the heel section sits lower than the forefoot the style is called a 'negative heel'.

Welt
The strip of material which joins the upper to the sole. Most shoes will be bonded by Goodyear-welted construction. Some shoes use an imitation welt stitched around the top flat edge of the sole for decorative purposes, but it is not a functional part of the shoe.

Shoe Lasts and Metrology
Most shoes are made to a last. This is a foot model with dimensions and shape similar to the anatomical foot but sufficiently different to not be exact. Shoe fit and to some extent the last influences its durability.

Last
"The close relationship between a man and his shoe maker was based on the shared secret of the client's measurements. The statistics of clients were never disclosed."
Traditionally before mass production, the original shoemaker started the process by taking a footprint outline of the sole. He whittled or chiselled a wooden last from the print.

A last ( 'laest', Old English meaning footprint) was traditionally made from wood but are now available now in metal or plastic. They are complex structures made from many measurements (statistically determined). Lasts are not the same size and dimensions of the anatomical foot but instead an abstract form with specific functions. It is usually deeper in the midfoot region, has a sharp 'feather edge' where the upper surface meets the sole, is clipped in along the topline (around the ankle) and is flaired over and extended in the toe region. This provides shape, which applies appropriate tension when the shoe distorts to contain the loaded foot.

Lasts provides a working surface on which flat leather components can be given plastic form. The physical dimensions accommodate the foot during activity and the last contains contemporary fashion and styles such as toe shape. To allow the last to be removed from the shoe they are often hinged around the instep. Shoe lasts are not made to resemble feet but instead to suit the shoe manufacture. Modern lasts are totally unlike the foot with the sole of the last, flat in order to assist in manufacture. Shoe making was classified under three headings: turned shoes, welted shoes and through-seam shoes.

Turned shoe
The turned shoe is made inside out with only an outset sole between the foot and the ground. The upper and soles are very flexible. The last is designed in a single size and then a set is made in the range of sizes and widths in which shoes are to be manufactured. Marked sizes will vary slightly from one manufacturer to another. No longer a popular technique.

Welted Shoes
Any construction using a welting, either as an intrigal part of the construction or simply for imitative effect.

Through Seam Shoes
Anthropometry
Studies show over 90% of people have different sized feet. Despite feet being the same length other dimensions vary with the individual foot. Activity of the foot will also change the shape of identical feet in accordance with the structure and function of the appendage. The idea of a perfect fit is not a reality. Because distribution or proportions of foot mass differ with individuals, which mean linear measurement such as length and breadth of the foot alone, are inadequate. It is important shoemakers consider mass and volume of feet if an exact fit is to be afforded. To ensure a best fit, measurements are taken at strategic locations and the shoemaker uses both linear as well volume measurement to construct a shoe.

The modern last is made in three dimensions although it is not a direct replica of the foot. Instead it is made with production requirements, in mind. The lastmaker may take up to 35 measurements before the model last can be made. A shoe fitter may concentrate on length, ball width, heel, topline, arch and instep. The shoe is expected to wear well, feel well, keep its shape with wear, retain its style character, tread properly, allow for reasonable foot freedom, maintain both foot and shoe balance, remain structurally intact. These features are not always dependent on the quality of materials or components, or the manufacturing process. The design and multiple dimensions of the last provide the basis for the above.

Features built into a last include:
Measurements
The majority of measurements are volume rather than the traditional length and width associated with shoe fit.
Throat opening
The distance from the vamp point to the back seam tuck.
Length
The length measurement of the foot from the back of the heel to the tip of the longest toe.
Foot Girth
There are four girth and circumference measurements taken on a last. These are the ball, waist, instep and heel (back of heel to instep). Measurement requires careful assessment of the foot, which cannot be accomplished with the same precision as linear measurements. The modern last maker uses precision instruments to determine girth but the old shoemakers used the hand span to this same effect. Aspects of the foot were measured against the shoemaker's hand, the ball of the foot was compared to the girth between the thumb and the middle finger. The instep was measured between the thumb and the little finger. This method was subject to enormous variations depending upon the size of the shoemaker's hand.
*Ball girth This is the girth measurement around the ball of the last to determine the width and volume allowance inside the shoe.
* Waist girth The girth at the waist on the last.
* Instep girth The circumference around the foot at the instep.
* Heel girth The distance around the foot from the rear base of the heel to the top of the instep.

Recede Toe
This is the part of the last, which projects beyond the tip of the toes forming the rounded contour of the front of the shoe. A tapering recede such as in todays sharp shoes increases the overall length of the shoe. In a poorly designed last the recede may encroach on the toes increasing tension on the ends of the toes. This may be referred to as tight lasting.

Heel-to-ball
This dictates the position of the hinge of the forefoot (metatarsal phalangeal joints) and the widest part of the shoe (across the metatarsal heads).

Toe Spring
This describes the elevation of the undersurface of the sole at the toe to give a slight rocker effect to the shoe. The amount of toe spring (built into the last) depends on the shoe style, sole thickness and heel height. This is built into the last design and compensates for the stiffness of the footwear and provided a stress free take off into propulsion. The more rigid the soling material the greater the toe spring. Many shoes will also display a slight heel spring.
Tread
This describes the width across the sole under the ball of the last and it should correspond to the dimension of the feet. The tread point on the last represents the bottom forepart just behind the ball and in contact with the base plane.

Flare
This describes the curve or contour of the last. The swing is determined by the position of the forepart when the last is bisected longitudinally forwards from the centre of the heel arc. With In inflare lasts there is an inward medial swing to the forepart and most modern shoes are made on an inflare last (banana last) because it is thought shoes are more comfortable. An outflare last describes the opposite with the swing lying to the lateral side of the forepart. Sometimes used in bespoke footwear for infants with diagnosed foot development problems. Straights last describe neither an inflare or outflare preference. The long axis of the last when drawn through the bisection of the heel curve describes two equal longitudinal halves. The normal foot has a straight axis and hence straight lasted shoes can be worn on either foot. Prior to the introduction of machinery to make heeled shoes it was common to have shoe made with a straight flare until the turn of the twentieth century.

Methods of Shoe Construction

There are many ways to attach the sole to the upper but commercially only a few methods are preferred. Shoes were traditionally made by moulding leather to a wooden last. Modern technology has introduced many new materials and mechanised much of the manufacture. Remarkable as it may seem the manufacture of shoes remains fairly labour intensive. No matter the type of construction the first stage in construction is to attach the insole to the undersurface of the last. Two main operations follow : Lasting describes the upper sections are shaped to the last and insole. Followed by Bottoming, where the sole is attached to the upper. The process of bottoming will determine price, quality and performance of the shoe.


Cement
Alernative names include:'Stuck on construction' (UK) and the 'Compo Process'.

For lightweight and flexible footwear the outsole is stuck to the upper by an adhesive. Bonwelt is a variation with its distinguishing feature being a strip of welting attached by stitching or cementing to the top edge of the insole. The shoe is then flat lasted. This is not a true welt construction wherein the welt is attached to the rib of the insole.

Goodyear Welt
For high quality dress and town shoes the top section (or welt) is chain stitched to the upper and insole rib at the point where it curves under the last. This is supplemented by a lockstitch outseam bonding the welt and outsole. The outsole is then sewn to the welt around the edge. Goodyear Welt creates heavier less flexible footwear.

Stitchdown
Alernative names include: Veldt or veldschoen
A cheaper method used to produce lightweight flexible soles for children's shoes and some casual footwear describes the upper turned out (flanged) at the edge of the last. This is then stitched to the runner. In some countries it is known as 'veldt' and 'veldtschoen.'

Mocassin
Thought to be the oldest shoe construction this consists of a single layer section, which forms the insole, vamp and quarters. The piece is moulded upwards from the Under surface of the last. An apron is then stitched to the gathered edges of the vamp and the sole is stitched to the base of the shoe. This method is used for flexible fashion footwear. The imitation moccasin has a visual appearance of a moccasin but does not have the wrap around construction of the genuine moccasin.


Moulded Methods
The lasted upper is placed in a mould and the sole formed around it by injecting liquid synthetic soling material (PVC, urethane). Alternatively, the sole may be vulcanised by converting uncured rubber into a stable compound by heat and pressure. When the materials in the moulds cool the sole-upper bonding is complete. These methods combine the upper permanently into the sole and such shoes cannot therefore be repaired easily. Moulded methods can be used to make most types of footwear.

Force Lasting
Alternative names include:The Strobel-stitched method (or sew in sock)

Force lasting has evolved from sport shoes but is increasingly used in other footwear. The Strobel-stitched method (or sew in sock) describes one of many force lasting techniques. The upper is sewn directly to a sock by means of an overlooking machine (Strobel stitcher) The upper is then pulled (force lasted) onto a last or moulding foot. Unit soles with raised walls or moulded soles are attached to completely cover the seam. This technique is sometimes known as the Californian process or slip lasting.


Shoe Styles
According to Rossi (1997) there are eight basic footwear styles with the rest made up as variations on the basic themes. To comply with definition a shoe describes footwear with a mechanism capable of holding the foot in the heel of the shoe to facilitate support during push off. Hence there are two critical aspect of shoes i.e.. the band around the instep and the section corresponding to the human heel. To prevent unnecessary movement these need to be firm and fit the foot.

Boot
Any footwear extending above the ankle. There are numerous designs and types for a variety of uses and made from a number of materials.

Clog
A thick soled wooden shoe sometimes with leather upper.

Lace Up ( 2 types ):
-Oxford Shoe
-Derby Style
Any low cut shoe fastened by lacings, such as an Oxford or Blucher.

Moccasin
The term moccasin originates from the Algonquian language for foot covering. The Algonquians were any of several North American Indian tribes formerly inhabiting the region along the Ottawa River and near the northern tributaries of the St. Lawrence River. The oldest
form of shoe dates back to 14,000 years and was thought to originate from the Mongol tribes who migrated along the Bering Strait into North America.

Originally it described a simple one-piece hide, wrapped round the foot and held on with rawhide thongs. Later the Indians gradually stylised the moccasin by adding the moccasin plug, fringes and coloured beads, which depicted rank and occupation. Today moccasin shoes usually describe imitation moccasins, which had their origins in Norway.

The Norwegian Peasant Slip-on (or weejun) was first imported to the US by tourists in the 1930s and later Gucci made a leather loafer in refined calfskin with a metal snaffle bit across the instep. Soon loafers were available in the spectator style (two colours). By the 50s Penny Loafers were all the rage with the campus Ivy League of the US. Made in ox blood they were also
known as the Norwegian slipper. The Low vamp loafer was designed for females and was made from soft kid leather and cut low.

Mule
A backless shoe or slipper with or without a heel.

Sandal ( 3 types ):
- Hieroglyphics
- Sport Sandals
- Casuals

Originally a slab of leather sole attached to the foot by thongs. Today any open
shoe who's upper consists of any decorative or functional arrangement of straps. A sandal can be foot low to knee high, or with any heel height, designed for simple utility or casual wear or as a
fashion shoe.


Monks
Similar to Derby Shoes but with a cross over section to fasten the quarters with a side buckle.

Pumps
Heeled shoes with low cut fronts and usually no fastening.

Shoe Size System
A continual frustration to many who care for the foot weary is the absence of a standard shoe size system. Although metrology and reliable measurements have been in existence for approximately two hundred years, the concept of a shoe sizing system is relatively recent. Shoe sizing systems based on standard metrological measurements have been in existence for just over 100 years but shoes made in half sizes have only been available half that time.

As part of the protection many craftsmen operated in early times, shoes were individually coded. Like a painter signing the canvas, shoemakers marked the inside of the shoe with their persona codes. This deliberately kept the size a secret from the customer and virtually ensured their return for new shoes. This is still in evidence today and many manufacturers maintain individual size systems in order to promote customer loyalty. The first US record of shoes marked with sizes dates back to between 1860 and 1870. The procedure soon followed in England. It was only full sizes recorded (half sizes did not appear until the late 1880s). In 1886 the Hanan Shoe Co. were the first manufacturer to stamp their name on their shoes. In 1888 the first fitting stool was introduced to the trade by Sollers Shoe Manufacturing Co., Philadephia.

The Shoe Stick
The origin of shoe sticks date back to antiquity. They were described in Ancient Egypt, Rome and Greece and used by shoe and sandal makers. For centuries there was no shoe size standards or systems and each craftsman was free to use his own method. It was common to use their own bodies particularly their hands as gauges. An English yard for example was the length of the arm i.e. shoulder to fingertips or sometimes nose to fingertips.

The problem was not everyone was the same size and when a human foot was used to measure footage of land, much depended on the size of the individual as to how much the purchaser bought and the seller sold. In Rome, the inch (which was one twelfth of a foot) measured the width across the interphalangeal joint of the thumb.

By the 7th century in England, the barleycorn became a standard measurement with three ears of corn, laid end to end, equalling one inch. It took until the thirteenth century before the inch was officially sanctioned. Under pressure, Edward II (r. 1307-27) eventually succumbed to appeals from scholars and tradesmen to issue a decree to standardise measurement (Ledger, 1985).

Henceforth an English inch was the distance measured across three barleycorns taken from the centre of the ear and placed end to end equalled an inch. Thirty nine (39) barleycorns laid end to end became a foot and 117 laid end to end became a yard. Whilst the barleycorn decree of Edward II had nothing to do with shoe sizes per se many shoemakers began to use shoe sticks. Tradesmen had traditionally used the handspan method of measurement, which preferred the quarter of an inch unit, but after the introduction of the barleycorn measure, many began to adopt the third of an inch unit. With 39 barley corns approximating the length of a normal foot, this was graded size 13 and became the largest shoe size. Other sizes were graded down by 1/3 rd of an inch or one barleycorn. It took until 1850 before the first uniform shoe stick using the English size system appeared. Ironically this took place in France and shoe sticks were not accepted in North America, until after 1900.Today shoes are marked according to one of three different length sizing systems depending on where the shoes were made. The three major systems are United Kingdom, American and Continental (or Paris Point):

UK System
The first description of a shoe sizing system was made and recorded by British genealogist Randle Holme in the Academy of Armory and Blazon in 1688.
The UK System starts from zero, at 102 mm with 8.4mm (1/4 ") between whole sizes (4.2mm between half sizes).
Adults sizes range from size 1 to size 15 (equivalent to 12").
The UK System for children is divided into 13 parts. Sizes start at five inches long and every fourth part of an inch thereafter until, size 12. Size 13 or short 13 and consists of length of 8 inches and a quarter. This also starts the Adult size 1.

Third Inch Scale (Barley Corn):2-5-8-1-4-7-0-3-6-9
UK System Quarter Inch Scale:
Child Sizes :0-5.25-5.5-5.75-6.0-6.25-6.75-7.0-7.25-7.5-7.75-8.0-8.25-8.5
Adult Sizes:8.5-8.75-9.0-9.25-9.5-9.75-10.0-10.25-10.5-10.75-11.0-11.25-11.5-11.75-12

Children's Shoes
Until the time of Queen Victoria , children's shoes were made as miniature adult shoes, with no special feature for growing feet. The children of the Middle Class in Victorian times wore shoe styles more akin to fancy dress which may account for why the design of today's shoes contain motifs which refer to previous ages and classic periods of history. Going barefoot is still within living memory and many children went without footwear as a normal practice and not through poverty. Work shoes were often handed down with the better off wearing them before passing them to siblings.

It is not clear why a unit of 13 was used to judge a critical point between child sizes and adults. The origins of this remain clouded but there are several theories. It is understood early English shoemakers started with the smallest size (0 or 1) at four inches. Four inches was an easy measure to record because it was the width across the knuckles which happened to correspond to the size of a child's foot needing their first pair of shoes. By coincidence 4.22 " measured 13 barleycorns. The next easy measure was the span of the hand or 9". Measure across the knuckles (4") plus the span of the hand (9") gave 13". This measured the average length of a child's foot at puberty. Adult sizes would logically start at the end of the child's size. Another belief is based on a foot measuring practice at the time.

Some historians believe shoemakers accepted 13 as the base unit for measuring feet. The shoemaker's size stick was twelve inches long with the units measured from zero. This meant twelve became thirteen. There have been several attempts to standardise measurements of shoes and adopt the quarter inch unit, however arguments have always failed due to costs and problems of changing to a new system. As early as the seventeenth century, according to Holme, a "guild of shoemakers" had agreed on a common size scale based on a quarter inch rather than the third of inch. However little had changed by the nineteenth century when Gardener described in 1856 a shoe sizing system based on one-third inch, scale. The barleycorn , for all its metrological shortcomings, continues to be used in both American and English sizing systems.

American System
The first shoe sizing system with detailed proportional measurements for lasts and shoes came from North America. The instigator, Edwin B Simpson of New York, prepared the first chart of standardised last measurements in 1880. This included shoe widths but it was another seven years before the Retail Boot and Shoe Dealer's National Association adopted the system. Much of the impetus to introduce a size system had arisen during the American Civil War (1861-65) where mass produced shoes were made in left and rights for the first time. As the main shoe manufacturers were in the North then orders for soldiers required a size system. To make it easier for the Army to order shoes for their servicemen, each soldier was allocated a shoe size as well as a nametag. Despite the availability of inflare footwear, these were not comfortable and many complained. The Confederacy fought barefoot. Right and left shoes were not commercially available for another half century. Although North America legalised the use of the metric system the industry did not adopt it as the only means. Regular reviews of regulation have meet similar non-compliance. Consequently there remains little standardisation of shoe sizes within the US. Ironically the industry continues to use Imperial measurements and each manufacturer determines how large a certain size will be. The only standardisation is each full size is 1/3 of an inch longer than the previous size. Women's shoes are marked 1 1/2 sizes different than men's (a size 9 women's shoe is equal in length to a size 7 1/2 men's shoe). In the American (or Standard) System the first number in the code represents the width (1 = A, 2 = B) The second number followed by a zero denotes the whole size: when the second number is followed by a 5 it indicates a half size.


UK :1-2-3-4-5-6-7-8-9-10-11-12-13
US:1.5-2.5-3.5-4.5-5.5-6.5-7.5-8.5-9.5-10.5-11.5-12.5-13.5
PP:33-34-35.5-36.5-38-39.3-40.5-42-43-44.5-46-47-48
Mondo:220-227-236-245-252-260-270-278-286-298-305-312-320mm10.75

Continental System (Paris Point metric)
The Europeans used a metric system and hence each full size (or two thirds of a centimetre) is less than a full size but more than the half size. North America is one of the few countries, which is still using imperial measurement whereas most other countries have adopted a metric system. Gabriel Mouton, a French vicar, first introduced the metric system in 1670. In 1801 after several modifications the French officially adopted the measurement system. The French system does not support half sizes. Infant sizes start at size 15 (equivalent to 0) and each size then progresses by two thirds of a centimetre. By 1875 several nations had got together to discuss adoption of the Paris Point System and whilst countries like North America legalised the use of the metric system, the industry refused to adopt it as the only means.

Mondo Point
This was a proposed international shoe sizing system based on the metric system. The idea originated in Australia and was intended to replace English, French, Italian and other size systems. Mondopoint provided a uniform system of shoe sizes among the nations of the world. The sizes were based on millimetres. Shoes were described as 255/98 or 255 millimetres long and 98 millimetres broad. Sizes progressed from the smallest to the largest, from children's through to adults without interruption. Foot size was determined with the person weight bearing.

Width Fitting
Shoe width represents both the linear and girth measurements at the ball, and is determined by the last. Several standard and width fittings are available in the UK size system to accommodate differences in three-dimensional girth. In women's shoes, A is the narrowest and G the widest. For children the range is A to H; and for men it is from 1-8. The girth increase between fittings is normally 6.5mm. Most lines are only available in one size usually women's D and men's 4. The girth around the ball of the foot of the foot increases by 5mm for whole sizes up to children's size 101/2 and 6.5mm for whole sizes above this. In the American system it is two less, eg AAA is the equivalent to the UK A. There is no equivalent Continental width fitting system and the shoes are generally narrower than in the UK. In the American (or Standard) System the first number in the code represents the width (1 = A, 2 = B) The second number followed by a zero denotes the whole size: when the second number is followed by a 5 it indicates a half size. In the American (Arithmetic standard width measurement) this ranges from AAAAA to EEEEEE.

Assessing Footwear
Most clients attend for treatment wearing dress shoes, which are not always their normal footgear. In those situations where shoe costume and foot are considered incompatible, practitioners may tactfully request the client bring the footwear worn for the majority of the working day. In situations where client's shoes contribute to subjective symptoms but no apparent conscious acceptance is obvious then the practitioner may accept the clients personal choice is a life style decision. Adverse shoe conditions can excite pathologies, compromise prognosis and inhibit satisfactory practice but the choice of footwear always remains with the client. Under these circumstances negotiated care is required where neither party is compromised.

It is important to ascertain a client's shoe wearing habits. Information about when, where, and how often shoes are bought can be very useful. To avoid a 'halo effect', however, assessment should involve tact and sensitivity, combined with a healthy scepticism. People will often report shoe-wearing habits they consider appropriate to a healthy life style especially in the presence of a foot physician. When gathering information tolerance is a virtue, with discretion and understanding essential assets. A sad fact in this day and age is not everyone can afford shoes, especially where multiple children are involved.

People buy shoes to meet specific purposes and all gain benefit from well informed advice. Most obtain perfectly adequate footwear from general or specialised retail outlets. For some, shoes require minor modification to accommodate specific requirements, such as a short leg, whereas a small minority need shoes made specifically to fit their feet ie. bespoke footwear. Made for feet shoes are classified as modular ie a type of footwear fabricated using stock lasts to which minor adjustments can be made; and True, bespoke footwear, which is, made form a customed last. These are available privately or with assistance from medical funds when prescribed. Mass produced or stock footwear is available single size/width or half size multi-width fittings. The former is usual for adult sizes and the latter more common in children shoes.

A list of good habits is in itself inappropriate and it is important to have reference to an appropriate portfolio ie shoe catalogue and suppliers if you wish to inform clients. Most fashion shoes are bought in self-service outlets, including the World Wide Web. Socio-economics determine the vast majority of shoe buyers can ill afford quality footwear associated with personal fitting or made to measure footwear. Most people prescribed orthopaedic footwear require some financial assistance.

Problems with fit
The problems are rarely single and often are multifactorial. Asymmetry and anatomical variation mean challenges for people seeking ideal fit. The style and pattern of a shoe bear an influence on size. The distribution of mass or volume within the shoe affects size and fit. The height of the heel can affect deportment and function, hence the shape of the foot. Shoe types such as fashion footwear and work boots may be fitted with a bit more size allowance than the slightly snugger fit of an elegant fashion or dress shoe. The type of shoe construction can bare an influence. e.g. welts, cements, slip lasted, stitchdown, injection-moulded etc, will show slight differences in fit on the foot. Some manufacturers or brands apply their own particular specifications of dimensions on their lasts e.g. backpart, forepart, tread, etc. and this makes a difference in fit among different brands on a given size. The foot fitted in the morning will be smaller than the foot fitted in the afternoon. Toe shape of the shoe may influence the fit. Shoes with narrower toes may need to be worn a half size longer (when available).

Discussion
The concept of shoe fit is largely a subjective and person al matter on the part of the fitter or the customer or both. Size alone is not the only determining factor. Research form the Battelle Institute has shown there are at least 38 individual factors influencing or involved in shoe fit. Many of the 38 factors were subjective involving the opinion and attitudes of consumer and fitter alike. In the end it was the customer who determined whether the shoe fitted or not.

References
Hughes JR (1995) Footwear assessment In Merrimen LM, & Tollafield DR (eds) Assessment of the lower limb Ediburgh:Churchill Livingstone 227-247.
Lord M & Pratt DJ Foot therapy In Tollafield DR & Merriman LM (eds) Clinical skills in treating the foot Edinburgh: Churchill Livingstone 249-266.
McPhoil TG 1988 Footwear Physical Therapy 68:12 1857-1865.
Rossi WA 1993 The sex life of the foot and shoe Malabar: Kreiger Publishing Company.
Rossi WA 2000 The complete footwear dictionary (2nd edition) Malabar: Kreiger Publishing Co.
Vass L & Molnar M 1999 Handmade shoes for men Cologne: Konemann.

Further Reading
Belanger R 1997 Big black boots: how to pick the right size
Byrne M Curran MJ 1998 The development and use of a footwear assessment score in comparing the fit of children's shoes The Foot 8 215-218. Ceeny E The form of the foot in relation to footwear The Chiropodist 304-311.
Foot Fitter Genovation
Gardener R 1856 The illustrated handbook of the foot London
Ledger FE 1985 Put your foot down: A treatise on the history of shoes Melksham: Coin Velton.
Manning JR 1966 Size standardisation: Europoint The Chiropodist 21:6 187-200. Mondopoint: A metric system of shoe sizing and marking Australian Podiatrist August 1976 102-103.

Petrus Camper (1722-1789) on the Shoe translated by Dr Miriam Meijer, Mongomery College, USA
The Brannock Device
The true story of shoe sizes New York: Sterlinglast Corp 1977