Kamis, 13 Maret 2008

Kisah Toko Gunung Agung

Akrobat Bisnis Seorang Anak JalananKeberadaan Toko Gunung Agung hingga di usianya yang ke-50 saat ini tidak lepas dari akrobat bisnis yang dilakukan seorang bekas anak jalanan, Tjio Wie Tay alias Haji Masagung. Sejarah keberadaan Toko Gunung Agung yang 8 September lalu genap berusia 50 tahun, tidak lepas dari akrobat-akrobat bisnis yang dilakukan tokoh kuncinya, Tjio Wie Tay alias Haji Masagung.

Terlahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara pasangan Tjio Koan An dan Tjoa Poppi Nio, Wie Tay sebenarnya bisa menikmati masa kecil yang indah. Ayahnya seorang ahli listrik tamatan Belanda, sedangkan kakek seorang pedagang ternama di kawasan Pasar Baru, Bogor. Tapi kebahagiaan itu tidak dikecapi terlalu lama, karena kala dia berusia empat tahun, sang ayah meninggal dunia.

Sejak saat itu kehidupan ekonomi mereka menjadi sangat sulit. Dalam buku Bapak Saya Pejuang Buku yang ditulis putranya, Ketut Masagung dan disusun kembali oleh Rita Sri Hastuti dikisahkan bahwa Wie Tay tumbuh sebagai anak nakal yang suka berkelahi. Ia juga punya kebiasaan "suka mencuri" buku-buku pelajaran kakak-kakaknya untuk dijual di pasar Senen guna mendapatkan uang saku. Karena kenakalan ini, ia tidak bisa menyelesaikan sekolah, meski sudah dikirim sampai ke Bogor dan sempat masuk di dua sekolah berbeda. Justru karena kenakalannya, Wie Tay tumbuh sebagai anak pemberani. Ia tidak takut berkenalan dengan siapa saja, termasuk dengan tentara Jepang yang kala itu mulai masuk ke Banten. Bahkan dari tentara Jepang, ia mendapatkan satu sepeda.

Modal "berani" ini yang kemudian dia bawa masuk ke dalam dunia bisnis, dan tidak bisa dipungkiri, menjadi salah satu senjata andalannya dalam menggerakkan roda bisnisnya. Setelah diusir pamannya dari Bogor dan harus kembali ke Jakarta saat berusia 13 tahun, Wie Tay menemukan kenyataan bahwa keadaan ekonomi ibundanya belum membaik jua. Tak ada jalan lain baginya kecuali harus mencari duit sendiri.

Awalnya, ia kembali ke "kebiasaan" lama mencuri buku pelajaran kakaknya untuk dijual guna mendapatkan 50 sen. Setelah stok buku pelajaran habis, ia mencoba menjadi "manusia karet di panggung pertunjukkan" senam dan aerobatik. Tapi penghasilannya ternyata tidak seberapa banyak. Pedagang AsonganIa kemudian banting setir menjadi pedagang rokok keliling. Di sinilah sifat beraninya mulai terlihat. Wie Tay yang digambarkan sebagai anak yang banyak kudis di kepala dan borok di kaki ini nekat menemui Lie Tay San, seorang saudagar rokok besar kala itu.

Dengan modal 50 sen, ia memulai usaha menjual rokok keliling di daerah Senen dan Glodok. Di sini ia mulai rajin menabung, karena sudah merasakan betapa susah mencari uang. Hasil tabungannya kemudian dibelikan sebuah meja sebagai tempat berjualan di daerah Glodok. Karena belum memiliki kios sendiri, meja tersebut dititipkan pada sebuah toko onderdil di Glodok, sampai akhirnya ia mampu membuka kios di Senen. Menjadi pedagang rokok keliling membuka mata Wie Tay remaja bahwa ada tempat partai rokok besar selain Lie Tay San, yaitu di Pasar Pagi. Maka, setelah membuka kios dia mulai membeli rokok di Pasar Pagi. Selanjutnya, Wie Tay juga berkenalan dengan The Kie Hoat, yang bekerja di perusahaan rokok Perola, salah satu merek rokok laris kala itu. The Kie Hoat kemudian akrab dengan Wie Tay dan Lie Tay San.

Suatu hari, The Kie Hoat ditawari relasinya untuk mencarikan pemasaran. Kie Hoat lalu merundingkan dengan kedua sahabatnya tadi. Saat Lie Tay San masih ragu, Wie Tay yang masih sangat belia dalam bisnis itu malah langsung setuju. Ia yakin bisa cepat dijual dan mendatangkan keuntungan besar. Ternyata benar! Sayang buntutnya tidak enak. The Kie Hoat akhirnya dipecat dari Perola karena dinilai melanggar aturan perusahaan, menjual rokok ke pihak luar yang bukan distributor.

Ketiga sahabat ini kemudian bergabung dan mendirikan usaha bersama bernama Tay San Kongsie, tahun 1945. Di sinilah awal pergulatan serius Wie Tay dalam dunia bisnis. Mereka memang masih menjual rokok, tapi melebar ke agen bir cap Burung Kenari. Pada saat bersamaan mereka juga mulai serius berbisnis buku. Atas bantuan seorang kerabat, mereka bisa menjual buku-buku berbahasa Belanda yang diimpor dari luar. Buku-buku ternyata laku keras.

Mereka berjualan di lapangan Kramat Bunder, tidak jauh dari rumah Lie Tay San. Setelah itu mereka membuka toko 3x3 meter persegi, kemudian diperluas menjadi 6x9 meter persegi. Lantaran keuntungan dari penjualan buku sangat besar, mereka lalu memutuskan berhenti berjualan rokok dan berkonsentrasi hanya menjual buku dan alat tulis menulis. Tahun 1948, mereka sepakat mengukuhkan bisnis mereka dalam bentuk firma, menjadi Firma Tay San Kongsie. Saham terbesar dimiliki Lie Tay San (6/15%), The Kie Hoat (4/15%) dan Wie Tay (5/15%). Masagung ditunjuk memimpin perusahaan ini.

Mereka kemudian membuka toko di kawasan Kwitang. Ketika orang-orang Belanda hendak meninggalkan Indonesia, Wie Tay mendatangi rumah orang-orang Belanda tersebut dan meminta buku-buku bekas mereka untuk dijual dengan harga murah. Membangun Toko Gunung Agung Pada 13 Mei 1951, Wie Tay menikahi Hian Nio. Setelah menikah, Wie Tay berpikir untuk mengembangkan usaha menjadi besar. Dia mengusulkan kepada kedua rekannya untuk menambah modal. Lie Tay San keberatan. Dia memutuskan mundur dan tetap dengan toko bukunya di lapangan Kramat Bunder, (kini Toko Buku Kramat Bundar). Sementara Masagung alias Tjio Wie Tay bersama The Kie Hoat membangun toko sendiri di Jln Kwitang No 13, sekarang menjadi Gedung Idayu dan Toko Walisongo. Saat itu, Kwitang masih sepi. Jangankan kios buku, toko lainnya pun belum ada. Baru ketika Wie Tay membuka toko di sana, keramaian mulai tercipta. Sejumlah gerobak buku mulai kelihatan. Sejak saat itu Kwitang menjadi ramai. Cukup lama Tjio Wie Tay mencari nama untuk toko barunya. Kemudian baru muncul ide untuk menerjemahkan namanya sendiri ke dalam bahasa Indonesia. Tjio Wie Tay dalam bahasa Indonesia berarti Gunung Besar atau Gunung Gede tapi Wie Tay mengubahnya menjadi Gunung Agung.

Toko buku mereka berkembang pesat. Pesanan dari luar Jakarta berdatangan, tidak hanya buku tapi juga kertas stensil, kertas tik dan tinta. Melihat perkembangan ini, tercetuslah ide untuk membina usaha dengan kalangan yang dekat dengan buku, antara lain kalangan wartawan dan pengarang. Sejumlah wartawan senior kala itu ikut bergabung, termasuk sejumlah saudagar tingkat atas. Tidak heran kalau buku-buku yang diterbitkan pada awal berdirinya adalah buku-buku sastra tulisan tangan para "orang dalam" tersebut. Bentuk usaha firma lalu diubah menjadi NV.

Saat peresmian NV Gunung Agung, Wie Tay membuat gebrakan dengan menggelar pameran buku pada 8 September 1953. Dengan modal Rp 500 ribu, mereka berhasil memamerkan sekitar 10 ribu buku. Tanggal ini yang kemudian dianggap sebagai hari lahirnya Toko Gunung Agung –yang juga menjadi hari kelahiran Wie Tay sendiri. Menggelar pameran buku, seolah menjadi "trade mark" bentuk promosi yang dilakukan Gunung Agung.

Tahun 1954, Wie Tay mengadakan lagi pameran buku tingkat nasional bertajuk Pekan Buku Indonesia 1954. Pada acara inilah Wie Tay bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh nasional yang sangat dikaguminya, yakni Bung Karno dan Bung Hatta. Bagi dia, pertemuan dengan Bung Karno adalah hal yang menakjubkan. Selain sebagai presiden, Bung Karno adalah tokoh yang sangat dikaguminya sejak dia masih kecil. Peran Bung KarnoS ukses menyelenggarakan Pekan Buku Nasional dan kedekatannya dengan Bung Karno, membuat Gunung Agung dipercaya membantu pemerintah menyelenggarakan Pameran Buku di Medan dalam rangka Kongres Bahasa Indonesia pada tahun yang sama. Dari sana dilanjutkan dengan pembukaan Cabang Gunung Agung di Yogyakarta, 1955.

Tahun 1956, kembali Gunung Agung diminta pemerintah menyelenggarakan pameran buku di Malaka dan Singapura. Tahun 1963, Toko Gunung Agung sudah memiliki sebuah gedung megah berlantai tiga di Jln Kwitang 6. Acara ulang tahun ke-10 tersebut yang diikuti dengan peresmian gedung tersebut dihadiri langsung Bung Karno.

Pada tahun itu juga, tepatnya 26 Agustus 1963, Wie Tay berganti nama menjadi Masagung. Kalau padanya ditanyakan tokoh siapa yang paling berpengaruh dalam bisnis penerbitan dan toko buku, maka Masagung pasti akan menyebut nama Bung Karno. Ia pun selalu teringat akan pesan Bung Karno padanya. "Masagung, saya ingin saudara meneruskan kegiatan penerbitan. Ini sangat bermanfaat untuk mencerdaskan bangsa, jadi jangan ditinggalkan," ujar Bung Karno. Seraya memeluk Masagung, Bung Karno menyerahkan kepercayaan kepada Masagung untuk menerbitkan dan memasarkan buku-bukunya semacam Di Bawah Bendera Revolusi (dua jilid), Biografi Bung Karno tulisan wartawan AS, Cindy Adams, buku koleksi lukisan Bung Karno (lima jilid), serta sejumlah buku tentang Bung Karno lainnya. Penerbitan buku-buku Bung Karno inilah yang membawa Gunung Agung menanjak.

Bantuan Bung Karno tidak berhenti di situ. Bung Karno juga meminta Gunung Agung mengisi kebutuhan buku bagi masyarakat Irian Barat saat Trikora. Masagung lalu kemudian mengadakan pesta buku di Biak, Marauke, Serui, Fak Fak, Sorong, dan Manokwari. Tugas yang sama kembali diemban untuk masyarakat Riau dalam rangka Dwikora. Bukan cuma di Indonesia. Masagung juga agresif membangun jaringan di luar negeri.

Tahun 1965, dia membuka cabang Gunung Agung di Tokyo, Jepang. Lalu mengadakan pameran buku Indonesia di Malaysia awal 1970-an. Ternyata, kepak sayap bisnis Masagung tidak sebatas toko buku dan penerbitan. Ia juga merambah bisnis lain . Ia tercatat mengelola bisnis ritel bekerjasama dengan Departement Store Sarinah di Jln MH Thamrin, lalu masuk ke Duty Free Shop, money changer, dan perhotelan . Itulah akrobat bisnis yang dilakukan seorang "mantan" anak jalanan. Si anak nakal yang tidak tamat SD itu ternyata mampu mem-bangun kerajaan bisnis yang kokoh hingga kini .

JOSEPH LAGADONI HERINdari wartabisnisdotcom

Kisah sukses jayabaya

Ratih SanggarwatiPeragawati"Semua Profesi Butuh Pendidikan"

Bagi saya, pendidikan adalah segala-segalanya, dalam artian, saya tidak menganggap orang yang tidak berpendidikan tinggi tidak baik. Kalau orang mau belajar secara otodidak ya bagus. Tetapi perlu diingat, pendidikan di perguruan tinggi membuat wawasan kita makin bertambah dan menjadi lebih bagus. Jelas ada perbedaan antara orang yang pernah mengenyam perguruan tinggi dengan yang tidak.

Memang ada orang yang mengatakan, ah tidak perlu kuliah, yang penting belajar dan membaca. Itu oke saja. Tapi, bagi orang yang pernah mengenyam bangku kuliah, ada point-point tertentu yang memang lebih menang daripada orang yang tidak mengenyam bangku kuliah. Hal itu, misalnya bisa dilihat dari cara berdebat dalam berdiskusi, dalam cara berpikir, berbicara atau pandangan, pasti ada perbedaannya.

Jadi, buat saya, apapun profesi seseorang, diperlukan pendidikan. Seperti saya yang seorang model. Kalau dilihat secara langsung, memang seorang model tidak perlu menjadi seorang sarjana. Namun, banyak orang yang tidak menyadari, perlu ilmu dalam dalam memikirkan potensi-potensi diri, bagaimana dalam membuka peluang-peluang baru. Seperti saya, setelah tidak menjadi peragawati, saya dapat menjalankan usaha lain, membuat restoran dan sekolah modeling. Semua itu saya dapat karena belajar manajemen, statistik dan segala macam.
Bagi yang tidak dapat masuk ke perguruan tinggi negeri, sekarang ini banyak sekali perguruan tinggi swasta yang menjadi alternatif. Kalau saya pribadi, ada beberapa faktor untuk melihat perguruan tinggi swasta yang akan dimasuki. Pertama, statusnya harus disamakan, Kedua, melihat kemampuan keuangan kita. Berikutnya fasilitas yang disediakan, lingkungan pergaulan mahasiswanya, mutu alaumni perguruan tinggi tersebut, dan sebagainya.

Terus terang, sebenarnya keinginan saya masuk ITB. Karena tidak terima, saya memutuskan saya mendaftar di Universitas Trisakti dan Universitas Jayabaya. Waktu itu saya hanya melihat status disamakan untuk jurusan Manajemen Perusahaan Fakultas Ekonomi, tidak lebih dari itu.
Di Trisakti saya diterima. Tapi setelah melihat lingkungan mahasiswanya, saya merasa tidak mampu sekolah disitu. Kalau saya sekolah disitu pasti saya akan menuntut macam-macam pada orangtua, minta beli mobil ini-itu, untuk menyesuaikan dengan mahasiswa yang lain. Apalagi saya baru datang dari daerah, jadi yah….mudah terpengaruh oleh gaya anak muda anak-anak Jakarta.

Akhirnya, pilihan saya jatuh ke Universitas Jayabaya. Saya pikir, kalau di Jayabaya, saya bisa belajar dengan tenang, tidak terpengaruh kanan-kiri. Keuntungan lainnya, ternyata biaya kuliah di Jayabaya lebih murah dibanding di Trisakti. Di Jayabaya, saya hanya bayar Rp. 500.000, sedangkan di Trisakti Rp. 1.250.000,. Menurut saya, pada waktu itu memang kemampuan keuangan saya hanya Rp. 500 ribu. Mengenai fasilitas, menurut saya, cukup memadai.
Namun, semua keuntungan itu tidak saya pikirkan. Karena waktu itu saya hanya berpikir yang penting lulus dan menjadi seorang sarjana. Ya, kalau ukuran perguruan tinggi swasta, saya termasuk mahasiswa yang lulus tepat waktu. Masuk tahun 1981, selesai 1987. Itu sudah termasuk ujian negara dan skripsi. Kalau teorinya sih 4 tahun sudah kelar.
Pesan saya, dalam memilih perguruan tinggi swasta, masyarakat jangan terpaku karena prestise. Kecendrungan masyarakat kita begitu. Sekarang banyak perguruan tinggi yang mementingkan profit saja. Pretise tidak tepat diterapkan pada pendidikan. Prestise itu kalau sedang bergaya-gayaan saja. Untuk urusan pendidikan, jangan gaya-gayaan lah.....
Juan Felix TampubolonPengacara"Mutu dan Lulusan yang Berhasil"

Saat ditemui di kantornya, di Menara Global, Jakarta, Juan Felix Tampubolon, tampak enjoy meskipun kesibukannya sebagai pengacara Soeharto sangat melelahkan. Ia memulai karirnya sebagai pengacara mulai dari bawah. Ibunya, H.E. A.M Baijens yang keturunan Belanda, diakui sangat berperan membentuknya menjadi sosok pribadi yang mandiri. Kuliahnya di Universitas Jayabaya diselesaikan dengan biaya sendiri. Inilah ceritanya.
Dulu, terus terang, dalam memilih perguruan tinggi tidak terlalu saya pikirkan harus ke universitas mana. Tapi saya punya dua alternatif, negeri atau swasta. Kalau universitas negeri, jelas saya pilih UI. Tapi saya tidak lulus UI karena saya terlambat bangun ketika mengikuti tes. Saya tidak kecewa, karena saya pikir masih ada universitas swasta yang tidak kalah dengan UI. Pilihan saya jatuh pada Jayabaya.

Kenapa Jayabaya, karena saya melihat mutunya bagus. Saya banyak melihat jebolannya banyak yang berhasil. Pilihan saya semakin matang, karena saudara dan teman-teman banyak yang mendukung. Pada jamannya, fakultas hukumnya sangat terkenal. Lulusan hukum dari sana pasti diakui di masyarakat. Sarana dan prasarana disana memang sangat mendukung.
Memang agak subjektif jika saya bilang bahwa saya cinta pada almamater saya. Saya bangga lulus dari sana. Saking bangga dan cintanya, saya mengambil S2 juga di Jayabaya. Apa yang saya capai sekarang ini tentu juga karena saya telah ditempa disana.

Saya akui, apa yang saya dapatkan di perguruan tinggi, ketika diterapkan di masyarakat, jauh sekali bedanya. Tapi dari universitas yang paling bagus sekalipun, teori dengan kenyataan di lapangan sangat jauh berbeda. Kenapa begitu ?. karena fenomena hukum di masyarakat kita dinamis dan beraneka ragam. Karena saya pikir semua universitas perlu membuka diri untuk membuka diri untuk menyalurkan mahasiswa magang ke kantor–kantor pengacara. Saya sendiri telah banyak memberikan kursus secara gratis ke berbagai universitas termasuk ke almamater saya.

Sebenarnya saya dulu, saya tidak bercita – cita menjadi pengacara. Saya malah ingin kuliah di teknik sipil. Tapi cita – cita itu berubah ketika saya melihat orangtua saya punya kasus perdata tak kunjung selesai selama 2 tahun. Saya pikir kalau saya tidak membantu, apa jadinya? Maka begitu selesai dari Jayabaya, kasus perdata orang tua 100 persen saya yang menyelesaikan. Itulah kebanggaan terbesar bagi saya. Maka keputusan saya masuk ke Hukum benar–benar sesuai dengan harapan saya.

Dalam menerapkan ilmu saya tidak banyak mengalami sulit karena sebelum tamat saya sudah magang di Kantor Advokat Maruli Simorangkir dan Harijdono Tjitrosubono. Saya lalu membuka kantor pengacara dengan tiga rekan saya, satu dari Jayabaya, Undio dan UI. Kami berempat bisa saling mengisi. Sekarang, 3 rekan saya itu juga menjadi pengacara terkenal.
Mahasiswa sekarang perlu membekali diri dengan banyak pengetahuan dan ketrampilan. Ilmu yang punya harapan maju kedepan menurut saya adalah bisnis. Negara bisa rontok karena tidak jago berbisnis. Tapi bagaimana kita jago bisnis, kalau kemampuan bahasa Inggris kita rendah, maka saya kira, penguasaan bahasa Inggris perlu. Memilih universitas juga harus hati–hati, perhatikan standarnya, perhatikan jurusan, sarana dan prasarananya. Setidaknya, standar diakui pemerintah.

Ikke NurjanahPenyanyi Dangdut"Rekomendasi Kakak Kelas"
Selepas dari SMAN 40 Jakarta, Ike Nurjanah, penyanyi kondang yang kini telah menjadi telah menjadi dari seorang puteri, mencoba mengikuti UMPTN seperti lulusan SMA pada umumnya. Tapi ia sama sekali tidak menyesal karena gagal lolos kesalah satu PTN pilihannya. Ia lantas mencari tahu universitas mana yang mungkin ia pilih, kepada seniornya yang ketika itu menjadi mahasiswa. Saya disarankan mendaftar ke Universitas Jayabaya, karena kata mereka bagus. Fasilitasnya cukup lengkap dan tidak mahal-mahal amat. Menurut Ike, memang banyak kakak kelasnya di SMA yang memilih kuliah di Jayabaya. “ Bukannya ingin ikut-ikutan lho ….tapi buat saya faktor rekomendasi itu penting. Bagaimana kita bisa tahu seluk beluk sebuah universitas kalau bukan informasi dari teman-teman ?” kata Ike.

Karena kesibukannya sebagai penyanyi, Ike tidak memutuskan mengambil S1. Baginya akan lebih efisien bila mengambil program D3 dulu. Setelah mampu membagi waktu, barulah diteruskan ke program sarjana. Maka, ia memutuskan kuliah di Akademi Manajemen Perusahaan Jayabaya. Tapi, selepas D3 ia urung “istrirahat” seperti rencananya semula. “ kayaknya kok sayang ya kalau di stop, biar pun cuma sementara,” ujar wanita kelahiran 18 mei 1974 ini.

Ike menyelesaikan sarjana ekonomi manajemennya tahun 1998. Ia mengaku sangat menikmati masa-masa kuliahnya. Meski sibuk sebagai penyanyi, ia tetap meluangkan waktu untuk kegiatan kampus, ia bahkan sempat menjadi seketaris dan bendahara Senat Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Jayabaya 1995-1998.

Ike juga rajin berpartisipasi bila kampusnya mengadakan kegiatan seni. Dan karena kegiatan kampus pulalah, Ike akhirnya bertemu dengan pujaan hati yang kini telah menjadi suaminya. “Ketika itu, kampus saya ada pesta seni yang mengundang beberapa penyanyi. Salah satunya, ya kelompok Bragi. Disitu pertama kalinya saya berkenalan dengan Aldi’” ungkapnya.

M.S. Ka'banMenteri Kehutanan Periode 2004-2009"Aktivis dan Intelektual"
Pria berkumis tipis, ketika ditemui di kantornya (ketika masih menjadi anggota DPR RI) ternyata cukup ramah dan sangat antusias menceritakan berbagai kisah-kisahnya sewaktu kuliah pada akhir 70-an di Universitas Jayabaya walau ditengah kesibukan sebagai anggota MPR/DPR – RI merangkap anggota Komisi IX DPR-RI bidang ekonomi. Selepas SLTA, pilihannya hanya dua yaitu melanjutkan kuliah di IPB atau Universitas Jayabaya.
Pertimbangannya waktu itu karena Perguruan Tinggi Swasta yang status yang akreditasinya disamakan dengan negeri dan ujiannya mandiri masih sangat langka. Selain itu, satu-satunya PTS yang ada dosen bergelar professor dan banyak dosen bergelar Doktor muda hanya ada di Universitas Jayabaya serta ditinjau dari segi waktu pendiriannya Universitas Jayabaya relatif sudah lama dibanding PTS lain membuatnya semakin yakin untuk kuliah di Universitas Jayabaya.

Pria kelahiran Binjai, Riau, 5 Agustus 1958, yang kini menjadi Ketua Umuml Partai Bulan Bintang, juga Mentri Kehutanan juga menceritakan bagaimana waktu itu ia menikmati kuliah walau ia diajar oleh dosen-dosen killer, tapi manfaat waktu itu sampai kini pun tak dapat terlupakan.

Kegiatan lainnya selain kegiatan akademik, tambahnya sambil mengingat masa lalu sejenak, adalah kegiatan kemahasiswaan yang waktu itu sangat mendukung mahasiwa untuk berfikir, berkreatifitas dan berkarya, “Sehingga wajar saja, untuk setiap event kemahasiswaan saya pasti ikut serta, baik di Senat Mahasiswa, di Resimen Mahasiswa dan Unit Kerohanian Masjid”, katanya.

Alumnus yang pernah juga menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jakarta di era 80-an dan pernah menjadi kandidat Ketua Umum PB. HMI ini, merasa sangat bersyukur dididik dan diajar di Universitas Jayabaya sehingga wajar katanya, “ Kemanapun saya berada saya selalu merasa optimis dengan bekal yang saya bawa”.
Pesannya adalah untuk generasi muda yang akan menimba ilmu di perguruan tinggi hendaknya dalam memilih perguruan tinggi tidak hanya melihat gedung yang menjulang dan fasilitas kegiatan akademik saja karena ternyata faktor aktivitas kemahasiswaan juga penting sebagai wadah untuk bereksistensi dan berkreatifitas.

Elvyn G. MassasyaDireksi Bank Permata & Ekonom"Pentingnya Melek Finansial bagi Individu dan Keluarga"
Elvyn G. Massasya, kelahiran Medan, 18 Juni 1967. Kesehariannya adalah praktisi di sebuah bank. Ia juga berprofesi sebagai kolumnis yang tulisannya tersebar di hampir seluruh media massa nasional. Selain itu, ia juga seorang pengamat keuangan & perbankan sekaligus menjadi pembicara di berbagai workshop dan seminar, serta kerap mengisi acara talk show radio maupun televisi. Setelah menyelesaikan sarjana ekonomi dari Universitas Jayabaya, pada tahun 1990, ia melanjutkan pendidikan khusus bidang perbankan (Profesional Development Program) di Instutut Bankir Indonesia. Ia menyelesaikan Magister Manajemen di Institut Teknologi Bandung untuk bidang keuangan dan perbankan. Sebelumnya, ia mengikuti program MBA di Collegio de San Juan de Letran, Filipina. Selain sebagai praktisi perbankan, ia juga pengajar di School of Corporate Leadership (SCL), Associate Consultan di Magma Consultan, Associate Director di Pusat Kajian Komunikasi Bisnis dan Politik, Chairman Financial Intellegence Institute dan Dewan Pengurus Center for Corporate Leadership. Kini, ia sedang menyiapkan beberapa buku mengenai keuangan dan perbankan. Juga, tengah menyiapkan disertai untuk program doktor (S3).(dikutip dari buku "Cara Cerdas Memutar Uang", terbitan Elex Media Komputindo)

Elza SyariefPengacara"Takkan Berhenti Menolong Orang"
Reformasi yang diwarnai euforia demokrasi, penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), telah mendongkrak popularitas banyak pengacara. Salah satu di antaranya Elza Syarief, SH. Namanya berkibar sejak dipercaya menangani kasus putera bungsu mantan Presiden Soeharto. Namun, dia pun tersandung, diduga menyuap saksi dalam kasus itu.

Wajah Elza Syarief sudah akrab dengan pemirsa televisi dan pembaca media cetak. Sebab wajah itu sudah amat sering disorot kamera televisi lokal dan internasional maupun kamera para fotografer media cetak. Penampilannya tenang dan simpatik. Cara bicaranya pun teratur, sopan dan tidak meledak-ledak. Padahal waktu kecil, dia telat bicara. Pada umur 3 (tiga) tahun baru dia bisa ngomong. Sampai masa remaja, dia juga masih banyak diam. Kata dokter, cara berpikirnya lebih cepat daripada berbicara, sehingga banyak kalimat yang hilang. Namun, dia dapat mengatasi dengan banyak belajar. Kini, popularitasnya merekah, mirip selebritis yang naik daun, terutma sejak menangani kasus Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto. Kehadirannya selalu menghiasi layar kaca dan media cetak setiap kali kasus itu mencuat di publik.

Wanita kelahiran Jakarta 24 Juli 1957 ini begitu sering tampil di media masa dan diburu wartawan. Maklum, dialah pengacara Tommy Soeharto, anak mantan Presiden Soeharto, yang setahun buron, kemudian diadili dalam kasus pembunuhan seorang hakim agung."Kalau Mas Tommy enggak buron, masalahnya iuga enggak akan heboh," kata pengacara yang sudah pernah menangani aneka kasus, kecuali kasus politik ini. Jadi pengacara Tommy, katanya, "Bukan karena mau jadi sorotan. Saya cuma ingin memberi solusi hukum yang tepat."

Kuliah Setelah Punya 5 Anak
Elza memang soerang tipe manusia yang dapat menerima apa adanya. Dia seorang penurut yang amat menghormati orang tua dan suaminya. "Pernikahan saya pun karena dijodohkan. Sebagai anak yang penurut, saya mau saja," katanya terbuka, mengenang pernikahannya dengan H. Yuswaji SIP, MBA, seorang perwira AL yang pangkat dan jabatan terakhirnya Laksamana Muda TNI dan Asintel Kasum ABRI.

Setelah menikah dan punya 5 anak, atas izin suami, Elza kuliah lagi di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya. Tahun 1987 lulus dengan nilai terbaik. Teman-temannya menyarankan agar dia kursus advokat juga. Namun saat itu belum tergerak untuk menjadi pengacara.Satu saat, kebetulan ada teman wanita minta tolong dibuatkan berkas. Dasar dia memang cekatan dalam hal itu. Sekali baca kasusnya, dia sudah bisa membuat berkasnya. Kemudian, kadang dia juga menggantikan teman saat sidang. Sampai akhirnya dia benar-benar memegang kasus. Klien pertamanya seorang satpam sebuah perusahaan telepon yang di PHK tanpa pesangon. Dia berhasil memenangkan perkara itu.

"Wah, bahagia sekali. Akhirnya saya total memilih membantu orang. Di situ keberhasilan saya membela mereka dengan rasa bahagia. Ternyata kalau kita hendak beramal itu bukan semata-mata pakai uang saja. Memberi bantuan hukum juga bisa menyenangkan orang lain yang dihimpit kesulitan. Sehingga saya lihat dari sisi kemanusian bermanfaat."Sejak itu, ia memutuskan untuk tetap memilih jalur jadi pengacara. Awalnya ia sekadar ikut-ikutan dengan kantor pengacara lainnya. Pertama di Ikatan Warga Satya, yaitu kumpulan mantan CPM maupun POM AD. Kemudian ngumpul lagi di Kantor Pengacara Palmer Situmorang SH, lalu di Kantor Pengacara OC Kaligis SH.Lalu dia pun memuutuskan ikut ujian pengacara tahun1989, Advokat 1992, corporate lawyer 1998, dan pasar modal 1999. Dia mengaku banyak belajar ketika bekerja di kantor O.C.Kaligis. "Saya banyak belajar dari dia," katanya merendah. Di situ dia pernah menjadi Direktur Pidana tahun 1988-1991. Sampai akhirnya memutuskan membuka kantor advokat dan konsultan hukum sendiri di daerah Salemba.

Sejak buka kantor tahun 1991, sudah begitu banyak jenis perkara yang ditangani. Kecuali perkara politik. Karena dia enggan menanganinya. Kasus pertama yang dia pegang adalah masalah perburuhan. Makanya sampai sekarang dia tetap meberi porsi pada kaum buruh. Bahkan, dia menjabat sebagai Direktur Advokasi Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Metal Indonesia.

"Hidup itu kan harus balanced, misalnya mengambil suatu dana untuk disalurkan kepada yang berhak. Seperti khususnya pekerja yang menjadi korban PHK massal, perlu saya bantu secara cuma-cuma," ulasnya lagi.

Menurut dia, jadi pengacara itu tidak gampang. Ia mencontohkan, yang ia rasakan berat adalah permintaan atau target yang terlalu tinggi dari seorang klien untuk memenangkan kasusnya. Karena betapapun sulitnya suatu perkara, kalau target yang dibebankan tidak terlalu tinggi, hal tersebut bisa dikerjakan dengan sungguh-sungguh namun dengan suasana santai.Wanita berkacamata yang tinggal di Jl Kramat Sentiong 38A Jakarta Pusat ini juga mengaku tidak menargetkan masalah uang sebagai segalanya. "Karena saya punya kewajiban moral untuk membantu orang-orang yang memang tidak punya," ujarnya.Sejak kecil, Elza memang sudah menaruh empaty pada kaum papa. Ketika sekolah dulu, ibunya tak pernah memberi uang jajan tapi selalu dibekali makanan kecil. Satu hari, waktu mencoba pulang sendiri karena tidak dijemput, dia melihat ada orang minta-minta. Dia iba sekali karena terbiasa melihat yang bagus- bagus. Elza kecil juga heran, kok, pengemis itu jelek sekali. Akhirnya, bekal makanannya diberikan pada pengemis itu.Tapi karena makanan yang dia berikan itu kurang, dia pun menyuruh para pengemis itu datang ke rumah mengambil makanan. Maka saat keluarga Elza mau pindah ke Ambon, ibunya heran sekaligus bingung, karena begitu banyak pengemis datang ke rumah. Ternyata mereka sedih akan kepergian Elza.

(Dikutip dari www.tokohindonesia.com)

Dari Karyawan Menjadi Rekanan Toyota

Jakarta—Siapa yang membayangkan orang yang dulunya bekerja di bagian produksi pabrik Toyota Astra Motor (TAM) bisa mengubah nasibnya menjadi rekanan yang memasok komponen pada perusahaan otomotif terbesar di Indonesia tersebut? Mungkin ada, tidak tidak terlalu banyak.

Dan salah satunya adalah Nur Dahyar. Nur—demikian ia biasa dipanggil-membuka usaha pallet setelah “mencuri” ilmu di TAM selama 9 tahun. Saat ini pallet buatan perusahaannya tidak saja digunakan memenuhi kebutuhan dalam negeri tetapi juga diekspor ke luar negeri. “Sejak awal saya memang mempunyai rencana menjadi pengusaha,” ujarnya. Pada saat bekerja di Toyota tahun 1978 ia hanya berbekal ijazah SLTP. Namun keinginannya menjadi seorang pengusaha tidak pernah mati, sembari bekerja di Toyota pada malam harinya ia bersekolah SMA hingga lulus Akademi D3 komputer. Ketika bekerja di Toyota, ia pun bertekat menguasai semua bidang sehingga ia minta kepada atasannya supaya di-rolling dari satu bidang ke bidang lain.Maka sejumlah bidang di industri otomotif ini sudah ia jalani. Mulai dari bidang pengelasan, press, pengepakan, pergudangan dan lainnya.

Setelah ia memperoleh cukup ilmu akhirnya ia keluar untuk mendirikan perusahaan kecil-kecilan. Secara kebetulan ketika di Toyota ia kenal dengan Setiadi, seorang teknisi mesin yang bekerja di PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo). Hubungan pertemanan ini berlanjut menjadi hubungan bisnis. Nur Dahyar lalu mendirikan perusahaan yang diberi nama PT Nuansa Raya Dinamika (NRD) tahun 1997. Modal awal pengembangan usaha NRD berasal dari pinjaman BNI sebesar Rp 50 juta. Pertama kali memperoleh order dari Pelindo lewat jasa temannya tersebut. Proyek yang ditanganinya adalah pembuatan 9 pemancar lampu (tower) senilai Rp 135 juta yang dilaksanakan dalam beberapa periode. “Pada bulan pertama NRD menyelesaikan order sebesar Rp 15 juta tetapi biaya yang dikeluarkan sebanyak Rp 25 juta,” ujarnya. Hal ini wajar mengingat NRD harus menginvestasikan mesin dan peralatan lain.

Setelah memiliki prospek yang baik koleganya tersebut mengajukan pensiun dini agar bisa fokus dalam mengembangkan perusahaan tersebut. Pada mulanya 100 persen saham dimiliki Nur Dahyar tetapi setelah Setiadi bergabung komposisi kepemilikan saham fity-fifty. “Kami membina hubungan berdasarkan prinsip saling percaya, walaupun sering kali beda pendapat tetapi sampai sekarang masih bisa bertahan,” kata Setiadi. Jika Dahyar lebih menguasai proses produksi maka Setiadi menangani yang berkaitan masalah keuangan. Pembagian tugas yang jelas menyebabkan masing-masing orang tahu apa yang harus dilakukan dan bidang apa yang harus dikerjakan.Beralih ke Besi/bajaSemula NRD memproduksi pallet yang terbuat dari kayu tetapi mulai tahun 2001 beralih dengan bahan baku dari besi/baja.

Sejak tahun 2002 pallet buatan NRD semua berasal dai besi/baja. Hal ini disebabkan negara seperti Malaysia dan Australia sudah tidak mau menerima pallet yang terbuat dari kayu karena menciptakan masalah lingkungan. Saat ini produk yang dihasilkan NRD tidak saja pallet baja tetapi juga peralatan konstruksi baja dan mesin-mesin sederhana. NRD telah berkembang menjadi tiga pabrik kecil yang menempati wilayah seluas 2560 meter persegi di daerah Semper. 55 persen produksi NRD untuk memasok kebutuhan Toyota sedangkan 45 persen kepada pelanggan lain.

Tercatat beberapa perusahaan seperti PT Maersk Line, SCI, American Line, Mulia Keramik mengguanakan produk NRD.Saat ini beberapa bank telah menyalurkan kredit pada UKM ini yakni Bank Niaga, Bank Permata dan Citibank. “Sekarang kredit yang bisa dikucurkan bisa mencapai Rp 1 miliar per bulan seiring dengan perkembangan perusahaan,” kata Setiadi. Ia merasa bersyukur karena omzet perusahaan yang semula hanya dibawah Rp 100 juta sekarang sudah mencapai Rp 14 miliar.Setiadi memperkirakan omset perusahaan di akhir tahun bisa mencapai Rp 20 miliar. Meskipun masih mengandalkan produksi pallet baja tetapi produk-produk lain non-pallet akan ditingkatkan. Pada 2005-2007, NRD ingin masuk pada pengembangan produk komponen mesin. Rencananya 2007-2010 investasi peralatan dan mesin-mesin sudah bisa dilakukan dan akhir tahun 2010 sudah bisa berproduksi.Khusus bahan baku perusahaannya dipasok oleh PT Krakatau Steel melalui 5 distributor dan pipa dari perusahaan Bakrie. Sejauh ini pasokan lancar sehingga produksi tidak terganggu.

Namun penguatan dolar terhadap rupiah akhir-akhir ini menyebabkan kekhawatiran karena dampaknya sangat buruk bagi usahanya.Sementara untuk jumlah karyawan terus meningkat dari tahun 1997 yang hanya Nur Dahyar dengan anggota keluarga saja. Tahun 1998 berjumlah 7 orang sekarang sudah berkembang menjadi 122 orang. Kebanyakan atau sekitar 78 orang merupakan lulusan smu, 3 dari akedemi, 6 orang univeritas dan sisanya pendidikan SD dan SMP.

Jepang ingin masukSetelah melihat prospek bisnis yang baik maka ancaman terbesar yang dihadapi perusahaan adalah rencana perusahaan Jepang melakukan investasi di sektor ini. Hal inilah yang dikhawatirkan karena bisa mengancam eksistensi NRD. Namun kebijakan Toyota yang tetap ingin mempertahankan partner lokal menyebabkan mereka belum bisa masuk.

Tetapi indikasi perusahaan Jepang ingin masuk ke sektor ini sudah ada. “Kami meminta pemerintah memperhatikan ini sebab secara modal dan teknologi mereka pasti tidak kalah,” kata Dahyar. Sebelumnya tahun 2004 NRD juga terancam setelah produk-produk bajakan dengan harga murah dari Cina diselundupkan melalui berbagai pelabuhan. “Modusnya mereka bekerja sama dengan beberapa orang aparat bea cukai untuk meloloskannya,” ujarnya.

( Sumber : Sinar Harapan 2005 )